Di Bawah Tatapan Tuan Yosep
Disclaimer:
Cerita ini fiksi dewasa bertema BDSM. Semua adegan berdasarkan hubungan suka sama suka, aman, dan konsensual antara tokoh fiksi dewasa. Tidak untuk ditiru tanpa pemahaman dan persetujuan penuh.
Chapter 1 – Lamaran Seorang Anjing
Namaku Bambang. Tapi hari itu, nama itu tak lagi punya makna.
Pukul 01.14 dini hari, aku menulis sebuah pesan. Tanganku gemetar, bukan karena takut, tapi karena rasa malu yang memeluk dari belakang, menciumi leherku seperti dosa yang belum ditebus.
"Tuan Yosep... saya ingin menjadi peliharaan Anda. Bukan manusia, tapi anjing. Saya siap kehilangan harga diri saya. Tolong uji saya."
Pesan itu kukirim dengan napas pendek. Detik-detik berlalu seperti tetes air dari kran bocor—pelan, tapi menyayat. Hingga akhirnya balasan datang, dingin dan padat:
"Anjing? Hanya manusia bodoh yang berpikir dirinya pantas menjadi anjingku. Buktikan, atau angkat kaki."
Tidak ada sapaan. Tidak ada basa-basi. Tapi justru di situlah aku merasa dikenali—untuk pertama kalinya, bukan sebagai pria kantoran yang duduk rapi di meja kerja, tapi sebagai makhluk rendah yang rindu dimiliki.
Aku mengetik cepat. Nafasku memburu, seolah tubuhku sedang berdoa dengan panik:
"Saya akan buktikan, Tuan. Perintah pertama apa?"
Balasannya datang setelah lima menit yang terasa seperti menggantung di tepi jurang.
"Ambil cermin. Telanjang. Tatap dirimu sendiri. Dan katakan berulang kali: ‘Aku bukan manusia. Aku milik Tuan Yosep.’ Rekam. Kirim."
Suaraku tercekat. Tapi kakiku sudah bergerak.
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi. Cahaya lampu menyilaukan mata, memperlihatkan setiap kekurangan yang selama ini kututupi dengan pakaian, dengan formalitas, dengan senyum palsu. Dan kini, tak ada lagi yang bisa kusembunyikan.
Aku melihat tubuhku sendiri. Lalu membuka mulut.
"Aku bukan manusia... Aku milik Tuan Yosep."
Lidahku bergetar saat pertama kali mengatakannya. Tapi di pengulangan kelima, kalimat itu mulai terasa benar. Seperti mantra yang membuka pintu ke dunia lain—dunia di mana aku bukan siapa-siapa.
Setelahnya, aku kirim video itu.
Tiga menit berlalu. Lalu balasan datang:
"Masih terlalu bangga. Tapi lumayan untuk seekor calon anjing. Besok, kamu akan mengemis padaku untuk diperintah lagi. Dan aku akan menunggu."
Dan benar saja—malam itu aku tidur dengan rasa lapar.
Tapi bukan di perut.
Di dada.
Lapar akan tatapan dingin seorang Tuan.
Chapter 2 – Nama yang Dicabut
Pagi datang dengan cahaya pucat. Tapi bagi Bambang, dunia sudah kehilangan warnanya. Ia hanya bangun karena notifikasi yang membuat jantungnya berdegup: pesan dari Tuan Yosep.
"Mulai hari ini, kamu dilarang menyebut nama manusia kamu. Tulis nama itu di kertas, lalu bakar. Rekam."
Perintah itu tak perlu diulang. Bambang mengambil secarik kertas, menulis:
"Bambang"
Lalu menatap nama itu. Nama yang menempel sejak lahir. Nama yang dipakai oleh guru, HRD, bahkan ibunya. Tapi hari ini—itu hanya simbol dari sesuatu yang harus dilepaskan.
Ia menyalakan korek.
Api kecil itu seolah menertawakan keraguannya. Tapi Bambang tetap menunduk, lalu membiarkan api itu menelan huruf demi huruf.
"Bambang" berubah jadi abu.
Dan ia merekam semuanya.
Video itu dikirim tanpa sepatah kata pun. Dan tak lama, balasan datang:
"Bagus. Sekarang, kamu hanya menjawab dengan: 'Milik Tuan'. Siapa kamu?"
Bambang mengetik cepat. Jemarinya bergetar seperti rantai anjing yang ditarik tiba-tiba:
"Milik Tuan."
"Ulang. Dengan suara. Rekam."
Kali ini, bukan jemari. Tapi suara yang tunduk.
Bambang merekam suaranya sambil menunduk di kamar:
"Milik Tuan."
Sekali. Dua kali. Lima kali. Ia ulang sampai tak terdengar seperti manusia sedang berbicara, tapi seperti makhluk yang sedang kehilangan bentuk.
Yosep tak banyak berkata.
"Kamu sudah bukan siapa-siapa. Tapi belum jadi apa-apa. Anjing tidak hanya menanggalkan nama. Anjing harus rela dilihat hina. Tugas malam ini: pamerkan rasa malu kamu."
Bambang membaca ulang kalimat itu berkali-kali. Lalu membalas dengan hati yang berdebar:
"Perintahnya apa, Tuan?"
Balasan muncul:
"Besok, kamu akan berlutut di depan cermin. Tapi bukan untuk mengaku lagi. Tapi untuk menjilat. Dirimu sendiri. Lalu kirim bukti. Kamu adalah milik. Dan milik tidak berhak merasa jijik."
Dan malam itu, sebelum tidur, Bambang hanya menulis satu kalimat di catatannya:
"Manusia yang jijik, masih punya harga diri. Tapi milik... hanya tunduk."
Chapter 3 – Perintah Pertama
Hening.
Jam dinding berdetak, tapi di kepala Bambang hanya satu suara: kalimat perintah Tuan Yosep yang terus menggema.
"Jilat dirimu sendiri. Bukan untuk bersih. Tapi untuk hina. Anjing tidak jijik pada tubuhnya. Apalagi tubuh yang sudah jadi milik Tuan."
Ia berdiri telanjang di depan cermin. Tak ada musik. Tak ada lilin atau suasana ritual seperti dalam film-film dominasi yang pernah ia lihat. Hanya dingin, dan bayangan dirinya yang tak mengenakan apa-apa selain rasa malu.
Ia mulai dari lengan—ragu. Lidahnya menyentuh kulit dengan canggung. Tapi saat ia menatap cermin, ia melihat sesuatu yang lain.
Bukan pria. Tapi makhluk.
Makhluk yang sedang dilatih untuk menjadi bukan siapa-siapa.
Bambang menjilat lehernya, dadanya, bahkan bagian perut yang biasa ia tutupi karena minder. Masing-masing sentuhan membuatnya ingin menangis. Tapi juga ingin tunduk lebih dalam.
Setelah selesai, ia merekam wajahnya. Basah oleh keringat, sedikit air mata. Tapi tak satu pun kata terucap.
Hanya kemudian, satu kalimat dalam teks:
"Tugas selesai, Tuan."
Pesan balasan datang cepat kali ini:
"Masih terlihat ragu. Tapi kamu mulai menanggalkan lapisan manusia. Besok kamu akan belajar menjadi makhluk yang lebih jujur. Gonggong tiga kali, setiap lima menit selama satu jam. Rekam hanya suara. Tunjukkan bahwa kamu sadar suara rendahmu akan memalukan. Tapi tetap kamu lakukan."
Bambang tak menjawab dengan kalimat panjang. Ia hanya menulis:
"Siap, Tuan. Milik Tuan akan mematuhi."
Malam itu, ia menyiapkan alarm. Satu jam. Gonggongan. Setiap lima menit. Suara yang akan menggema di kamar sewaan, mungkin terdengar samar oleh tetangga, mungkin tidak. Tapi rasa malu itu, tetap terasa seolah seluruh dunia sedang mendengar.
Dan saat suara pertama keluar dari tenggorokannya—pelan, serak, dan kacau—Bambang tahu:
Ini bukan lagi main-main.
Chapter 4 – Suara dalam Malam
Jam menunjukkan pukul 00.01.
Kota masih bergeliat dengan sisa suara motor, suara televisi dari kamar tetangga, dan desah angin yang menyelinap lewat celah jendela. Tapi di kamar sempit Bambang, tak ada suara lain—kecuali napasnya sendiri yang mulai tak teratur.
Ponselnya sudah disiapkan. Aplikasi perekam suara dibuka, dengan satu label tugas dari Tuan Yosep:
"Gonggong tiga kali. Setiap lima menit. Satu jam penuh. Jangan dilewatkan satu pun. Kirim semua rekaman. Aku ingin tahu kapan kamu goyah."
Detik pertama, Bambang masih menahan ragu. Tapi saat alarm lima menit pertama berbunyi pelan, ia menekan tombol rekam, lalu membuka mulut:
"Guk... guk... guk."
Suaranya serak, lirih. Tapi cukup terdengar. Ia mematikan rekaman, lalu menunggu. Lima menit kemudian, alarm kedua berbunyi.
Kali ini, suaranya lebih keras. Rasa malu mulai merayap ke tengkuknya. Ia melirik ke arah jendela—tertutup rapat. Tapi tetap saja, rasa takut seolah menempel di dinding.
Lima menit berikutnya, ia mulai berkeringat. Nafasnya pendek. Tapi ia tetap menggonggong.
Guk.
Guk.
Guk.
Setiap kali suara itu keluar, tubuhnya seperti menghapus sebagian harga diri. Tapi semakin banyak yang hilang, semakin ringan rasanya.
Pada menit ke-30, suara-suara dari luar kamar terdengar mereda. Malam mulai tenang. Dan justru di situ, gonggongannya menjadi lebih nyaring, lebih mengganggu. Tapi ia tidak berhenti.
Menit ke-45—tangannya gemetar. Ia mulai takut ada yang mengetuk pintu. Tapi rasa takut itu kini terasa seperti bagian dari pelatihan. Rasa malu itu... seperti pagar yang menuntun dia berjalan merangkak ke arah yang benar.
Menit ke-60—gonggongan terakhir.
Ia menutup rekaman dan mengirim semua ke Tuan Yosep tanpa sepatah kata pun.
Balasan datang singkat:
"Aku dengar takutnya. Aku cium malunya. Itu aroma yang enak dari anjing baru. Tapi jangan nyaman. Besok kita masuk ke level berikutnya. Kamu akan merasakan tuanmu... lewat jejak tubuhku."
Bambang membaca ulang kalimat itu.
Dan saat itu juga, ia sadar... dirinya tidak lagi bisa kembali jadi manusia biasa.
Chapter 5 – Kaos Kaki Tuan
Paket itu datang siang hari. Tanpa nama pengirim. Tanpa catatan. Hanya sebuah plastik hitam berisi satu pasang kaos kaki—lusuh, gelap, dan berbau menyengat bahkan sebelum dibuka sepenuhnya.
Bambang tahu isinya. Ia sudah diberi peringatan malam sebelumnya oleh Tuan Yosep:
"Itu milikku. Sudah kupakai seharian penuh. Jangan cuci. Jangan cium sebagai manusia. Tapi terima sebagai milik."
Tangannya sempat ragu menyentuh benda itu. Tapi di ujung jarinya, rasa takut berubah jadi rasa tunduk yang nyaris religius. Ia menggenggam kaos kaki itu seperti benda suci.
"Tugas malam ini," pesan Yosep masuk, "Sumbat mulutmu dengan kaos kaki kiriku. Rekam video satu menit. Jangan bicara. Hanya duduk diam seperti anjing yang mulutnya ditutup karena terlalu sering merengek."
Bambang diam lama. Satu menit terasa seperti seumur hidup. Tapi pada pukul 23.47, ia siapkan kamera, duduk di lantai, lalu mengambil kaos kaki itu. Perlahan, ia dorong ke dalam mulutnya.
Rasa asin. Lembap. Jijik.
Lidahnya memberontak, tapi tubuhnya diam. Matanya tak lepas dari kamera. Ia duduk seperti seekor anjing: telanjang dada, lutut di lantai, mulut disumpal. Detik demi detik berlalu. Hinaan terasa di udara, meski tak ada satu suara pun. Tapi rasa malu... itu menjerit dalam diam.
Setelah satu menit, ia berhenti. Video itu dikirim tanpa teks.
Beberapa menit kemudian, balasan dari Yosep masuk:
"Begitu diamnya kamu... sampai aku bisa mendengar suara tunduk dari dalam dadamu. Bagus."
"Besok, bawa kaos kaki itu ke balkon. Tanpa suara. Tanpa pakaian kecuali celana dalam. Berdiri selama lima menit, sambil menggenggam barang milik Tuan di tanganmu. Jika kamu malu, itu artinya kamu sadar siapa kamu sebenarnya."
Bambang tak langsung membalas. Ia hanya memejamkan mata, menggenggam kaos kaki itu kembali, dan membiarkan baunya melekat di telapak tangannya.
Ia tidak jijik.
Ia... siap.
Chapter 6 – Ujian di Balkon
Pukul 00.17. Langit tak sepenuhnya gelap—ada redup cahaya dari lampu jalan, dan suara kipas angin tua yang berputar pelan di kamar Bambang. Tapi di luar, di balik pintu geser menuju balkon sempit apartemen lantai dua, malam terasa telanjang.
Seperti Bambang.
Ia hanya mengenakan celana dalam abu-abu pudar. Tak ada baju. Tak ada suara musik. Tak ada lampu yang menyala. Di tangan kanannya, tergenggam erat kaos kaki bekas milik Tuan Yosep.
Yang kiri, menggenggam pinggiran pintu geser yang sebentar lagi akan terbuka.
"Lima menit. Berdiri diam. Jangan bersembunyi. Tunjukkan bahwa kamu memang milik, bukan penyamar. Dan jangan lihat ke bawah. Anjing tidak takut pada malam."
Begitu pesan dari Tuan masuk malam itu.
Bambang menarik napas panjang. Kemudian, pintu dibuka perlahan. Udara luar menyapa kulitnya seperti ejekan—dingin, lembut, dan menyadarkan bahwa ia benar-benar telanjang dari rasa aman.
Ia berdiri tegak. Tubuh gemetar sedikit, bukan karena cuaca... tapi karena risiko. Karena kemungkinan seseorang dari gedung seberang akan melihat.
Ia tidak menggonggong. Tidak bergerak. Tidak bicara.
Hanya diam.
Seperti patung malu.
Seperti properti.
Seperti milik.
Di tangan kanannya, kaos kaki yang ia genggam makin lembap oleh keringat. Tapi ia tak melepaskannya. Justru itu yang menenangkannya—bau apek, rasa lengket, dan beban psikologis benda itu membuatnya tahu: ia sedang menghadap kepada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa malu. Ia sedang menghadap kepada tuannya.
Lima menit.
Tapi di kepalanya, itu lima tahun.
Saat ia masuk kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan, ia langsung duduk di lantai. Punggungnya menyentuh tembok. Dan satu kalimat meluncur dari bibirnya pelan, bukan untuk direkam, tapi untuk dirinya sendiri:
"Aku milik. Aku milik. Aku milik."
Ia mengirim pesan:
"Tugas balkon selesai, Tuan. Anjing tetap diam. Tidak kabur. Tidak menangis. Tidak menyembunyikan siapa dirinya."
Yosep membalas cepat:
"Bagus. Tapi belum cukup. Besok, kamu akan mencoba mundur. Dan aku akan mengizinkannya. Karena hanya anjing sejati yang kembali merangkak setelah hampir kabur."
Chapter 7 – Penolakan yang Ditunggu
Pagi itu, Bambang duduk lama menatap layar ponselnya. Matanya sembab. Semalam ia hampir tidak tidur. Bukan karena tugas di balkon. Bukan karena udara dingin yang menusuk.
Tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai berontak. Sebuah suara kecil—suara manusia lama—yang berkata:
"Ini sudah keterlaluan. Kamu punya hidup sendiri. Pekerjaan. Harga diri. Untuk apa semua ini?"
Dan suara itu… tak mudah dibungkam.
Jam 09.12, ia akhirnya mengetik pesan. Lama ia menulis, menghapus, menulis lagi. Sampai akhirnya hanya satu paragraf yang tersisa:
"Tuan… maafkan saya. Saya merasa ini mulai terlalu berat. Saya malu pada diri saya sendiri. Mungkin saya tidak sanggup. Mungkin saya bukan anjing yang layak. Terima kasih atas semua bimbingannya."
Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol kirim.
Pesan itu terkirim. Dan sunyi pun menguasai pagi.
Sepuluh menit. Dua puluh. Tiga puluh.
Hingga akhirnya balasan masuk. Singkat. Dingin.
"Sekarang kamu jujur. Bagus. Aku tidak butuh anjing palsu. Pergilah."
Tidak ada kata makian. Tidak ada bujukan. Hanya pemutusan sepihak—seperti tali yang dipotong oleh tangan yang dulu memberi rasa aman.
Dan justru itu yang menghantam Bambang paling dalam.
Ia meletakkan ponselnya. Tapi detak jantungnya malah jadi kacau. Bukannya lega, ia malah merasa seperti dicabut dari sesuatu yang telah mengikat jiwanya dengan rantai tak kasatmata.
Sore hari, ia membuka pesan lama dari Tuan Yosep. Dibacanya ulang semua rekaman, semua tugas, semua ejekan dan perintah itu… dan yang tersisa bukan rasa jijik.
Tapi… rindu.
Jam 19.43, ia akhirnya mengirim satu pesan lagi:
"Tuan… saya salah. Saya tidak ingin pergi. Saya pikir saya kuat sebagai manusia, ternyata saya kosong. Tolong… biarkan saya kembali. Biarkan saya merangkak lagi."
Lama tak dibalas.
Sampai akhirnya, suara masuk. Bukan teks. Tapi voice note.
Suara Tuan Yosep. Rendah. Tenang. Mengunci jiwa:
"Kamu pikir kamu punya pilihan? Kamu pikir kamu bisa keluar dari hidup sebagai milikku? Kamu hanya bisa lari sejauh aku izinkan. Dan sekarang, kamu akan membayar pengkhianatan itu… dengan rasa malu yang lebih dalam."
"Siapkan tubuhmu. Aku tidak akan menyambutmu kembali. Aku akan menundukkanmu kembali."
Dan malam itu, Bambang tak menjawab.
Ia hanya bersimpuh… seperti seekor anjing yang tahu ia telah meninggalkan rumah, tapi bersedia digebuk agar boleh masuk kembali.
Chapter 8 – Anjing Tak Bertanya
Pagi hari, sebelum Bambang sempat mengucapkan selamat pagi atau menunggu perintah, pesan dari Tuan Yosep sudah lebih dulu masuk:
"Hari ini kamu tidak boleh bicara. Tidak di chat. Tidak di suara. Tidak menjawab apa pun. Anjing tidak bertanya. Anjing hanya menunggu. Anjing hanya menerima."
Bambang membaca pesan itu dalam diam. Ingin membalas, ingin meminta petunjuk lebih… tapi jari-jarinya terpaku. Ia tahu, ini bukan sekadar larangan bicara. Ini adalah latihan untuk mematikan ego terakhir yang masih tersisa.
Siangnya, Yosep mengirim voice note:
"Sudah kubilang, diam. Bahkan jika aku menghinamu sekarang, kamu tidak boleh menjawab. Bahkan jika kamu merasa aku lupa padamu, kamu tidak boleh protes. Kalau kamu benar-benar milik, kamu akan bertahan dalam sepi."
Bambang hanya bisa mendengar. Dan diam.
Waktu berlalu lambat. Jam kerja terasa kosong. Tidak ada perintah eksplisit, tapi tekanan dari perintah diam jauh lebih berat dari sebelumnya.
Sore harinya, sebuah tugas masuk—tanpa kalimat perintah. Hanya gambar.
Foto seekor anjing duduk di pojokan ruangan, wajahnya menghadap tembok.
Lalu voice note menyusul:
"Satu jam. Duduk menghadap tembok. Tanpa suara. Tanpa gerak. Kalau kamu bergerak atau bicara… anggap hubungan ini selesai."
Bambang mengambil posisi. Di pojok kamarnya. Tubuhnya duduk di lantai, wajah menghadap tembok putih yang kosong, kaku. Seperti boneka rusak. Seperti properti.
Dan selama satu jam itu… ia benar-benar diam.
Bukan karena takut kehilangan Yosep.
Tapi karena mulai sadar:
Diam adalah bentuk bahasa baru. Bahasa milik. Bahasa tunduk.
Malamnya, Yosep mengirim satu kalimat.
"Hari ini kamu tidak gagal. Tapi kamu juga belum lulus. Karena anjing sejati… tidak hanya diam. Tapi menikmati saat dimatikan."
"Besok, kamu akan turun ke jalan. Dan kau tidak akan diizinkan berbicara sebagai manusia. Hanya akan kukenali dari suara yang keluar dari tenggorokanmu: suara yang hina."
Chapter 9 – Tugas Jalanan
Jam 22.39, pesan itu masuk. Singkat. Tanpa embel-embel. Tanpa penjelasan.
"Turun ke jalan kecil dekat rumahmu. Pakai hoodie dan celana pendek. Di balik hoodie, hanya boleh ada satu: rasa malu. Tiga gonggongan. Pelan. Tapi nyata. Rekam suaranya. Kirim."
Bambang membaca pesan itu berulang kali. Tangannya sempat ingin mengetik balasan. Tapi ia ingat… anjing tak bertanya. Anjing menerima.
Malam itu, langit gelap pekat. Jalan sempit yang dimaksud Yosep adalah gang kecil di belakang kontrakannya—jalan yang biasanya dilewati tukang sayur atau tetangga yang pulang dari masjid.
Kini, ia akan melewati jalan itu dengan niat berbeda.
Ia memakai hoodie besar yang menutupi sebagian wajah. Tanpa dalaman. Tanpa identitas. Hanya celana pendek tipis dan ponsel di tangan, siap merekam.
Langkahnya pelan. Lampu gang hanya satu, redup, berkelap-kelip seperti ragu untuk menerangi.
Saat ia tiba di tengah gang, napasnya tercekat. Tak ada orang. Tapi jantungnya berdetak seperti alarm.
Ia menekan tombol rekam. Lalu perlahan… ia merunduk.
"Guk…"
Suaranya kecil. Serak. Seperti suara dari seseorang yang baru saja belajar mengkhianati harga dirinya sendiri.
"Guk…"
Kali ini sedikit lebih keras. Dan seperti gema, rasa malu itu memukul dada lebih keras daripada suara itu sendiri.
"Guk."
Ia berdiri perlahan, berhenti merekam. Kakinya terasa lemas. Tapi anehnya, dalam kegelapan itu, ia merasa lebih jujur daripada siang hari di kantor, di balik meja dan dasi.
Ia mengirim rekaman itu. Tanpa teks.
Balasan dari Yosep datang beberapa menit kemudian:
"Aku bisa dengar gentarnya. Aku bisa cium baunya. Kamu mulai tumbuh… ke arah yang benar."
"Besok, kamu akan merasa kehilangan. Aku akan diam. Tak akan beri perintah. Dan kamu akan belajar satu hal: anjing sejati tetap duduk di depan pintu, bahkan jika tuannya tak kembali."
Dan malam itu, Bambang tak bisa tidur. Bukan karena takut.
Tapi karena menunggu.
Chapter 10 – Rantai yang Tak Terlihat
Hari itu, tidak ada pesan.
Pagi, siang, malam—semuanya hening.
Ponsel Bambang tetap di tangannya. Bahkan saat ia mandi, makan, bahkan saat duduk di kantor, ia tetap mengintip layar setiap lima menit. Tidak ada notifikasi dari Tuan Yosep.
Tidak satu kata pun.
Awalnya ia kira sinyalnya bermasalah. Tapi internet normal. Grup kerja tetap ramai. Iklan-iklan tetap masuk.
Hanya satu yang tidak muncul: suara Tuan.
Malam pun datang, dan sunyi itu makin menggigit. Di dalam kepala Bambang, mulai muncul suara-suara:
"Mungkin Tuan sudah bosan. Mungkin kau gagal. Mungkin kau bukan anjing yang pantas dibentuk."
Ia membuka galeri pesan. Dibacanya ulang semua rekaman, perintah, hinaan, dan pujian dingin yang dulu menamparnya. Lalu ia buka folder suara—gonggongan di gang, bisikan malu saat menjilat diri di cermin.
Semua masih di sana.
Tapi kenapa ia merasa hampa?
Pukul 22.50, ia duduk di lantai, di pojok kamar. Bukan karena diperintah. Tapi karena tubuhnya tahu: ini tempatnya. Tempat yang paling masuk akal untuk seekor milik yang sedang rindu dipanggil.
Di tangannya, kaos kaki tua milik Yosep masih disimpan. Sudah kering. Sudah pudar. Tapi baunya masih samar—dan cukup untuk membuat hatinya mengencang seperti tali di leher.
Tanpa sadar, ia berkata pelan, nyaris tanpa suara:
"Aku masih di sini, Tuan. Aku belum pergi. Aku menunggu. Karena aku tahu rantai ini… tidak butuh besi. Cukup rasa tunduk."
Ia tidak kirim pesan malam itu.
Ia hanya duduk. Diam.
Menanti.
Dan ketika akhirnya pukul 02.13 dini hari notifikasi masuk, ia langsung menggenggam ponselnya dengan napas tertahan.
Pesan itu hanya satu kalimat:
"Anjing yang tetap duduk meski tak dipanggil… adalah anjing yang mulai mengerti artinya dimiliki."
Chapter 11 – Di Bawah Meja
Pukul 18.04, ketika langit mulai jingga dan suara azan menggema dari kejauhan, notifikasi dari Tuan Yosep muncul—ringkas, tapi seperti cambuk yang menampar lembut:
"Makan malam ini, kamu tidak duduk di kursi. Kamu di bawah meja. Tanpa suara. Tanpa alat makan. Foto piringmu. Foto posisimu. Anjing makan di lantai."
Bambang tak menjawab. Ia tahu, menjawab pun tak akan mengubah apapun. Perintah adalah perintah. Dan perintah bukan untuk didiskusikan—tapi ditelan.
Ia menyiapkan makan malam seadanya: nasi, sepotong telur, dan air putih. Biasanya ia makan dengan tenang di meja makan kecil kontrakannya. Tapi hari ini, kursi didorong jauh.
Ia letakkan piring di lantai, tepat di bawah meja. Cahaya lampu redup, menciptakan bayangan di sela-sela kaki meja seperti sangkar diam.
Lalu ia berlutut. Pelan. Hati-hati. Seolah setiap gerakannya sedang diawasi dari kejauhan.
Dengan dua tangan di lantai, ia mendekatkan wajah ke piring. Tak ada sendok. Tak ada suara.
Ia makan perlahan. Lidahnya menyentuh nasi langsung. Kadang menyembur sedikit karena kikuk, kadang hampir tumpah karena malu. Tapi ia tidak berhenti.
Di sela-sela kunyahan, pikirannya menggema:
"Anjing tidak memilih. Anjing tidak minta izin. Anjing hanya... ikut."
Setelah selesai, ia memotret piring kosong, bekas butiran nasi yang tercecer. Lalu satu foto lagi: dirinya berlutut di bawah meja, dari sudut rendah. Wajahnya tak terlihat. Hanya tubuh yang sudah melepas bentuk manusia.
Ia kirim foto itu tanpa caption.
Balasan dari Yosep datang dua menit kemudian:
"Lihat? Kamu tidak menangis. Tidak protes. Dan kamu tidak mati karena malu. Itu artinya... kamu mulai cocok menjadi barang."
"Besok, aku akan buat kamu mencium bumi. Bukan sebagai makhluk hina… tapi sebagai makhluk yang tahu tempatnya."
Bambang membaca pesan itu… dan hanya menunduk.
Bukan karena takut.
Tapi karena ia mulai… percaya.
Chapter 12 – Luka Tanpa Darah
Hari pertama—tidak ada pesan.
Hari kedua—tidak ada perintah.
Hari ketiga—tidak ada suara.
Bambang menunggu. Menatap layar kosong. Membuka percakapan dengan Tuan Yosep, lalu menutupnya lagi. Berkali-kali. Bahkan ia sempat merekam suaranya sendiri, mengucapkan “Milik Tuan masih di sini”, tapi tak pernah dikirim.
Ia tahu… diam dari Tuan bukan tanda lupa.
Itu ujian.
Tapi hari keempat, tubuhnya mulai bereaksi. Nafasnya berat. Ia mendadak linglung di tempat kerja, melamun saat rapat, dan mulai menghindari teman-teman. Bukan karena marah.
Karena kosong.
Malamnya, ia berdiri di depan cermin. Tidak ada perintah untuk itu, tapi tubuhnya bergerak sendiri, seolah dilatih oleh sesuatu yang tidak kasat mata.
Ia menatap dirinya—berantakan, mata cekung, kaus tidak diganti.
“Aku milik.”
Kata itu keluar pelan. Tapi tidak cukup. Ia butuh lebih.
Ia merunduk ke lantai. Sujud. Tubuhnya menyentuh ubin yang dingin, kening menekan keras. Ia diam lama, hingga pelipisnya mulai terasa nyeri.
Lalu ia menangis.
Tanpa isak. Tanpa drama. Air matanya mengalir seperti luka kecil yang tak terlihat—tidak mengucurkan darah, tapi menguras napas perlahan.
Pukul 02.04 dini hari, ia akhirnya mengirim voice note:
(dengan suara pelan, serak, dan penuh getar)
“Tuan… maafkan. Saya tidak tahu harus apa. Milik Tuan ini… kosong. Luka saya tidak berdarah. Tapi rasanya seperti ditinggal... dan itu jauh lebih sakit dari rasa jijik.”
Lama tak dibalas.
Hingga akhirnya, pukul 04.16, sebuah balasan muncul. Suara Yosep. Dingin, tapi nyaris lembut. Penuh kuasa, tapi seperti menenangkan dengan belenggu:
“Bagus. Anjing yang terluka karena tidak diperintah... adalah anjing sejati. Sekarang kamu mengerti: luka paling dalam adalah ketika tali tak ditarik. Tapi kamu tetap berlutut. Itu artinya… kamu sudah siap dicium tanah.”
“Besok, kamu akan turun ke halaman. Buka bajumu. Cium tanah tiga kali. Ucapkan: ‘Aku tak pantas berdiri.’ Kirim buktinya. Dan biarkan rasa rendah itu tumbuh seperti akar.”
Dan kali ini… Bambang tidak merasa takut.
Ia merasa seperti telah kembali ke tempatnya.
Chapter 13 – Dicium Tanah
Subuh baru saja lewat. Udara pagi masih dingin, menusuk kulit, dan embun masih menggantung malas di rerumputan halaman kecil kontrakan Bambang.
Ia keluar diam-diam. Hanya memakai celana training longgar dan sandal jepit. Di tangannya, ponsel sudah disiapkan untuk merekam. Tidak ada yang ia bawa, kecuali satu perintah dari Tuan Yosep yang terus terngiang:
"Cium tanah tiga kali. Telanjang dada. Ucapkan: ‘Aku tak pantas berdiri.’ Rekam. Kirim."
Langkahnya pelan. Setiap derit gerbang kontrakan terasa seperti alarm. Tapi ia tahu, ini bukan tentang dilihat orang. Ini tentang dilihat dirinya sendiri—dari sudut paling rendah.
Saat ia tiba di pojok halaman, di dekat pohon mangga kecil yang tak pernah berbuah, ia melepaskan kaosnya. Dada terkena angin pagi, dan tubuhnya langsung menggigil. Tapi bukan karena cuaca.
Karena rasa yang akan datang setelahnya.
Ia menekan tombol rekam. Lalu berlutut. Tangannya menyentuh tanah lembab. Matanya menunduk. Dan bibirnya mendekat.
Ciuman pertama.
Tanah masuk ke ujung hidung, lembut dan bau. Tapi lebih bersih dari suara-suara dalam kepalanya.
Ciuman kedua.
Kali ini bibirnya menyentuh tanah lebih lama. Rasa malu datang. Tapi juga... semacam ketenangan.
Ciuman ketiga.
Ia menekan wajahnya lebih dalam, menahan napas, dan membisikkan dengan suara lirih:
“Aku tak pantas berdiri.”
Ia ulangi sekali lagi.
“Aku tak pantas berdiri.”
Dan satu kali terakhir, seperti mantra:
“Aku tak pantas berdiri.”
Ia bangkit perlahan, masih menunduk, lalu mematikan rekaman. Tanpa edit. Tanpa potong. Ia kirim ke Yosep, disertai satu kalimat:
“Perintah dijalankan, Tuan. Tanah sudah saya cium. Rasa manusia saya tinggal di sana.”
Pesan balasan datang tak lama kemudian.
"Tanah lebih tahu siapa kamu dibanding cermin. Karena ia menerima kamu apa adanya—hina, diam, rendah. Besok… kamu akan terikat. Bukan lagi oleh rasa. Tapi oleh simbol."
"Aku akan kirimkan kalungmu. Dan kamu akan pakai itu setiap hari. Karena milik… harus bertanda."
Dan kali ini, bukan rasa takut yang menyelimuti Bambang.
Tapi rasa bangga—bukan sebagai manusia.
Tapi sebagai milik.
Chapter 14 – Simbol Kepatuhan
Paket itu datang dua hari kemudian. Tanpa nama, tanpa cap toko, tanpa pesan—hanya sebuah bungkusan hitam kecil, berisi benda yang selama ini hanya hidup di dalam fantasi Bambang.
Sebuah kalung anjing.
Bukan dari kulit mewah. Bukan logam mahal. Hanya rantai besi ringan, dengan satu pelat kecil di tengah. Diukir kasar dengan dua kata:
"Milik Yosep."
Bambang menggenggam kalung itu seperti benda sakral. Beratnya ringan, tapi artinya mengunci.
Tak lama setelah paket diterima, pesan dari Tuan Yosep masuk:
"Itu bukan hiasan. Itu pernyataan. Pakai setiap malam. Foto setiap hari. Kirim sebelum tidur. Jika kamu lupa satu kali… anggap kamu sudah lepas dari aku."
Bambang membaca ulang pesan itu sambil menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Lalu, tanpa ragu, ia membuka bajunya, dan mengaitkan kalung itu ke lehernya.
Klik.
Suara kait itu seperti suara pintu yang tertutup—dan tidak bisa dibuka lagi.
Malam itu, ia duduk di lantai. Berlutut, seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Saat ia menyentuh lehernya, bukan kulit yang ia rasakan.
Tapi simbol.
Status.
Penegasan: Aku milik. Aku terikat.
Ia mengambil foto. Kepala sedikit menunduk, leher terbuka, kalung terlihat jelas. Tidak ada wajah. Hanya tubuh… dan pengakuan diam.
Ia kirim ke Yosep.
Balasan datang segera:
"Sekarang kamu tidak bisa berpura-pura lagi. Dunia mungkin tidak tahu siapa kamu. Tapi tubuhmu sudah bersaksi. Dan mulai malam ini… kamu akan belajar hidup sebagai milik. Bukan hanya saat aku menyuruh. Tapi setiap napas."
"Besok, kamu akan makan dengan kalung itu. Bukan sebagai tugas. Tapi sebagai kewajiban."
Dan malam itu, Bambang tidur dengan kalung di leher. Dingin. Tapi bukan tidak nyaman.
Karena untuk pertama kalinya… ia tidak merasa kosong saat bangun keesokan pagi.
Chapter 15 – Nafas Milik
Pagi datang seperti biasa. Tapi bagi Bambang, tidak ada yang biasa lagi.
Ia bangun dengan kalung di leher. Tidak sakit. Tidak mengganggu. Tapi terasa… seperti bagian dari kulitnya. Ia bahkan tidak menyadari saat tangannya otomatis menyentuhnya tiap kali jantungnya berdegup lebih cepat. Kalung itu seperti denyut baru—pengingat bahwa ia hidup bukan untuk dirinya sendiri.
Pesan dari Yosep masuk singkat:
"Hari ini, kamu tidak dapat tugas. Tidak ada perintah. Hanya satu hal: jalani harimu seperti biasa. Tapi dengan kalung itu. Di rumah. Saat makan. Saat kerja di depan laptop. Dan setiap kamu menyentuh lehermu, ingat satu hal: kamu milikku. Nafasmu… milikku."
Bambang membacanya pelan. Tidak ada perintah eksplisit. Tapi tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan.
Ia sarapan seperti biasa. Tapi dengan kepala sedikit menunduk. Sendok masuk ke mulutnya dengan hati-hati. Setiap gigitan terasa seperti doa—bukan untuk kenyang, tapi untuk izin: “Boleh saya makan, Tuan?”
Ia kerja di depan laptop. Tapi saat jari-jarinya berhenti di tengah mengetik, ia refleks menyentuh kalung itu. Dan tiba-tiba ia tersadar—aku tidak sendiri. Aku terikat.
Siangnya, ia duduk di lantai, tanpa sadar. Sudah tidak butuh perintah. Sudah tidak butuh ancaman.
Malamnya, sebelum tidur, ia tidak perlu diingatkan untuk mengambil foto.
Ia berdiri di depan kaca. Tubuhnya tenang. Lehernya tegak, tapi kalung itu tetap tergantung rendah. Ia memotret. Kalung jelas terlihat. Sorot mata tidak terlihat—tapi dari postur tubuhnya, semua sudah jelas:
Ia bukan Bambang.
Ia milik.
Ia kirim foto itu. Dan balasan terakhir dari Yosep datang, singkat. Tapi seperti segel:
"Sekarang kamu sudah bukan siapa-siapa. Tapi kamu sudah jadi apa-apa. Milik. Nafasmu bukan lagi milikmu. Dan itu artinya, kamu sudah selesai… menjadi manusia."
"Dan sudah mulai... hidup sebagai anjingku."
TAMAT
🕯 “Milik bukan sekadar kata. Tapi napas yang tak lagi kamu bawa sendiri.”
– Tuan Yosep
Komentar
Posting Komentar