DI BAWAH KAWALANKU

DISCLAIMER:

Cerita ini adalah fiksi dewasa bertema BDSM dan TPE. Semua adegan dilakukan oleh tokoh dewasa secara sadar dan atas dasar konsen. Tidak untuk ditiru tanpa pemahaman tentang batas aman dan prinsip BDSM yang bertanggung jawab. Cerita tidak mewakili praktik kekerasan atau paksaan dalam dunia nyata.


CHAPTER 1: Kedatangan Sang Polisi


Hari itu, udara Jakarta terasa lebih panas dari biasanya. Gedung tempat Bryan bekerja, sebuah bank swasta besar, seperti biasa ramai oleh pegawai, nasabah, dan staf pengamanan. Bryan, satpam senior di sana, berdiri tegap di sisi lobi. Seragamnya rapi, rambut disisir licin ke belakang, dan matanya waspada seperti elang. Tapi bukan hanya untuk keamanan bank—melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih pribadi.

Lelaki itu datang lagi.

Andrew Saputra.
Perwira polisi berpangkat komisaris. Wajahnya keras, tegas, dan cara berjalannya memancarkan aura komando. Dia bukan orang sembarangan. Setiap minggu, ia datang untuk koordinasi antarinstansi—entah soal pengamanan uang, pengawalan, atau hal-hal teknis lain. Tapi bagi Bryan, tiap kedatangan Andrew adalah satu babak baru dalam pengamatan diam-diam yang telah berlangsung berbulan-bulan.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Bryan singkat, dengan suara datar namun tak kasar.

Andrew hanya mengangguk kecil.

“Saya mau ke lantai 5. Security-nya masih yang lama?”

“Masih, saya,” jawab Bryan tenang.

Andrew tidak bicara lagi. Ia berjalan menuju lift tanpa senyum, tanpa pandang mata. Tegas, cepat, seperti biasa. Tapi langkah itu… Bryan menghafalnya.
Gerakan kaku, terlalu disiplin. Seperti orang yang lupa caranya santai. Dan orang seperti itu—yang hidupnya terlalu dikontrol oleh protokol dan perintah—biasanya tidak sadar kalau mereka sesungguhnya menginginkan untuk kehilangan kendali.

Bryan bukan sekadar satpam. Ia adalah Master.
Bukan Master karena suara keras atau fisik besar. Tapi karena dia tahu kapan harus diam, kapan harus mengatur, dan kapan harus membuat seseorang patuh tanpa merasa diperintah.

Siang Hari, Titik Awal

Saat jam istirahat, Andrew kembali turun. Seorang staf menelepon ke lobi mengatakan mobil polisi sedang parkir dan Andrew akan keluar sebentar. Bryan mempersiapkan protokol keluar-masuk seperti biasa, tapi menambahkan sedikit hal:

“Maaf, Pak. Untuk hari ini, semua tamu dan petugas keluar lewat pintu staf karena lobby sedang disterilkan.”

Andrew mengerutkan dahi.

“Saya tamu resmi, dan saya bukan staf. Dan saya polisi.”

“Betul, Pak. Tapi ini prosedur pusat. Bapak tetap bisa lewat, hanya beda jalur. Kalau tidak keberatan.”

Nada Bryan tetap tenang, tidak memaksa, tapi tidak memberi pilihan juga. Mata mereka bertemu. Untuk sesaat, ada percikan api. Andrew merasa ditantang. Tapi dia tidak ingin ribut.

Akhirnya, ia berbalik dan mengikuti jalur staf—lewat lorong sempit, melewati pantry, dan pintu samping. Bryan diam-diam mencatat langkah itu sebagai kepatuhan pertama.

Ketika Ego Disentuh

Di luar, Andrew bicara ke ajudannya dengan nada tinggi. Tak ada yang salah dari isi percakapannya, tapi Bryan mendengar sepintas:

“Satpam sok tahu… mentang-mentang pegang protokol...”

Senyum tipis muncul di bibir Bryan. Ia tahu reaksi seperti itu bukan karena harga diri benar-benar terluka. Tapi karena ada sesuatu dalam perintahnya yang mengguncang posisi Andrew. Orang yang biasa memberi perintah... tidak suka menerima.

Dan justru di situ letak indahnya.
Karena dominasi sejati tak selalu datang lewat suara keras. Kadang cukup lewat satu kata yang tidak bisa dibantah:
“Silakan lewat sini.”

Dalam Hati Bryan

"Lo bukan tunduk ke aturan bank. Lo tunduk ke suara gue, ke sikap gue, dan lo gak sadar itu. Tapi lo akan tahu. Lo akan belajar… bahwa seorang Master gak perlu berseragam militer. Cukup jadi penjaga pintu yang gak lo hormati. Tapi lo gak bisa abaikan."

Dan dari balik layar CCTV, Bryan memperhatikan langkah Andrew meninggalkan gedung. Tegap. Tapi tak sekuat tadi pagi.

Hari itu, tidak ada rantai. Tidak ada collar. Tidak ada kata "Master" atau "slave."
Tapi benihnya sudah ditanam.
Dan Bryan tahu, saat benih itu tumbuh, pria berseragam itu akan pulang ke kandang... dan menjilati tangan tuannya sendiri.


CHAPTER 2: Satpam, Bukan Bawahanmu


Pekan berikutnya, Andrew datang lagi. Tapi kali ini tidak sendirian. Dua staf dari kepolisian mengikutinya, mencatat sesuatu di clipboard dan sesekali berdiskusi teknis dengannya. Langkah Andrew tetap mantap. Sikapnya... seperti biasa: kaku, serius, dan berjarak.

Bryan berdiri di dekat meja resepsionis, berpura-pura sibuk mengawasi antrean. Tapi matanya sudah tertuju pada Andrew bahkan sebelum lelaki itu masuk gedung.

“Selamat pagi, Pak Andrew,” sapa Bryan seperti biasa.
“Hari ini tujuan koordinasinya langsung ke ruang direksi?”

Andrew tidak menjawab. Ia menoleh sekilas, lalu langsung berjalan ke arah lift. Bryan diam, tapi satu tangannya terulur menghentikan pintu lift otomatis.

“Mohon maaf, Pak. Protokol baru dari pusat. Semua tamu, termasuk perwira eksternal, harus didampingi security menuju lantai 5.”

Andrew menoleh, ekspresinya dingin.

“Saya bukan tamu biasa. Saya penghubung resmi dari institusi kepolisian. Dan saya enggak suka dibuntuti kaya tahanan.”

Bryan tak mundur.

“Saya hanya jalankan protokol, Pak. Kalau Bapak keberatan, kami bisa laporkan ke manajemen dan izinkan mereka putuskan langsung.”

Staf polisi di belakang Andrew saling pandang. Canggung.

Suasana menegang. Bryan tidak bergerak sedikit pun. Matanya tak menantang, tapi tak tunduk.

“Lo pikir lo siapa?” ucap Andrew setengah berbisik, mendekat.
“Cuma satpam jaga pintu, dan lo nyuruh-nyuruh polisi?”

Bryan tetap tersenyum kecil.

“Justru karena saya penjaga pintu... saya tahu siapa yang boleh masuk, siapa yang perlu didampingi. Dan siapa yang sebenarnya... sedang butuh dipandu.”

Kalimat itu seperti lemparan batu ke permukaan air yang tenang. Tatapan Andrew tajam, tapi ragu. Ia tak punya argumen. Dan itu membuatnya frustrasi. Tapi ia melangkah ke belakang, menarik napas panjang, dan akhirnya... mengangguk pelan.

Setelah Pertemuan

Setelah rapat selesai, Andrew turun sendiri, tak ditemani stafnya. Bryan masih di posisinya. Mereka bertemu mata sesaat.

Andrew menghampiri, matanya menyipit.

“Gue enggak suka cara lo manggil gue kaya lo lebih tinggi.”
“Gue enggak suka diperintah sama orang yang bahkan enggak pake pangkat.”

Bryan menatap lurus ke arah lelaki itu.

“Karena lo belum pernah diperintah... sama orang yang tahu caranya membuat lo nurut.”

Sekali lagi, diam.
Andrew mengepalkan tangan. Muka merah. Tapi tak menjawab. Ia berbalik, melangkah pergi... tapi kali ini langkahnya berat.

Bryan memperhatikan punggung itu menghilang di balik pintu.

 Dalam Kepala Andrew

Di dalam mobil dinas, Andrew membuka kancing kerah seragamnya. Ia berkeringat, bukan karena cuaca, tapi karena... dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Bryan.

“Apa tadi dia bilang? Tahu caranya bikin gue nurut?”

Ia merasa harga dirinya diinjak. Tapi rasa itu... tidak membuatnya ingin membalas. Justru membuatnya penasaran.

Malam Hari, Sebuah Pesan Masuk

Andrew baru pulang ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.

“Kalau kamu datang ke gudang di lantai dua jam 11 malam ini, kita bisa bicara seperti laki-laki.”
“Kalau enggak, kita akhiri interaksi ini selamanya.”

Tak ada nama. Tapi Andrew tahu siapa pengirimnya.

Ia memandangi layar ponsel lama sekali.
Dan tanpa sadar, tangannya bergerak mengetik:

“Gue akan datang.”

Tunduk tidak selalu dimulai dari ketakutan. Kadang dimulai dari rasa marah...
Marah karena seseorang bisa menyentuh ego kita... dan tidak meminta maaf.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, seorang perwira polisi membuka pintu menuju dunia yang belum pernah dia sentuh—dengan kepala panas, tapi hati yang mulai retak.


CHAPTER 3: Gudang yang Tak Terkunci


Jam menunjukkan pukul 22:53. Andrew berdiri di depan pintu kecil bertuliskan “GUDANG 2”. Lokasinya berada di ujung lorong lantai dua bank, tempat hanya staf tertentu yang biasa masuk. Suasana sunyi. Kamera pengawas di dekat tangga sudah dimatikan. Ia yakin itu ulah Bryan.

Ia membawa kunci kecil yang dikirimkan lewat amplop tanpa nama, diselipkan di balik wiper mobil dinasnya sore tadi.

Sebelum membuka pintu, Andrew memandang sekeliling. Ia mendesah panjang.

"Gue polisi. Tapi kok gue ngerasa… kaya mau ngelakuin hal gila."

Tangannya bergetar saat membuka pintu.
Suara engsel pintu menggaung pelan saat ia masuk.

Gudang Kosong dan Sebuah Kotak

Di dalam gudang itu hanya ada satu lampu redup. Di tengah ruangan, ada sebuah box plastik besar. Di atasnya: selembar kertas.

INSTRUKSI:

  1. Lakban masing-masing jari sampai tak bisa bergerak.

  2. Lakban seluruh tangan hingga tak bisa mencabut apapun.

  3. Lipat kaki ke belakang, duduk seperti posisi anjing. Ikat.

  4. Tutup matamu.

  5. Bungkam mulutmu.

  6. Tunggu.

Pintu tidak akan dikunci. Tapi kamu tidak akan keluar... kalau kamu memang siap belajar tunduk.

Andrew menatap tulisan itu lama. Ia ingin marah, ingin menertawakannya. Tapi dadanya terasa sesak—bukan karena takut. Tapi karena bagian dari dirinya... ingin patuh.

Dengan nafas berat, ia duduk. Mengambil gulungan lakban, dan mulai membungkus jari-jarinya satu per satu.

Lalu ia merapatkan kedua tangannya dan membungkusnya sampai tak bisa membuka lagi.

Dengan lutut yang mulai gemetar, ia menekuk kakinya ke belakang, duduk seperti anjing, dan mengikat pergelangan kaki menggunakan tali velcro yang sudah disiapkan.

Terakhir… ia memasang penutup mata, dan… menutup mulutnya dengan lakban sendiri.

Dalam Kegelapan

Satu menit. Lima menit. Dua puluh menit.
Andrew tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Ia menggeliat, tapi tidak bisa berdiri. Tangan mati rasa. Mulut kering.

Lalu—suara langkah.

Tap... tap... tap...

Pintu gudang berderit terbuka. Andrew menegang.

Langkah kaki masuk, pelan. Suara seseorang menghela napas. Lalu… diam.

“Lo ngerti sekarang kenapa lo di sini?”

Andrew menggeram kecil di balik lakban. Ia ingin bicara, tapi tidak bisa. Hanya kepala yang bergerak sedikit, seolah mengangguk.

“Lo bukan tahanan. Lo bukan budak. Tapi malam ini... lo milik gue. Karena lo yang milih ini.”

Bryan menunduk, menepuk kepala Andrew sekali. Lalu berdiri.

Tap... tap...

Pintu ditutup kembali.
Klik. Kunci diputar dari luar.

Terkurung Sendiri

Andrew mendengar suara itu dengan jelas. Ia terdiam. Tak ada panik.
Hanya sunyi. Dan rasa... pasrah.

Malam itu, ia tidur dalam posisi meringkuk, tubuh terikat, mulut tertutup, mata gelap—tidak karena dipaksa... tapi karena memilih untuk tidak menjadi apa-apa selain milik.

Pagi Hari

Jam 08:02, pintu dibuka. Bryan masuk. Andrew sudah lemas, keringat membasahi tubuhnya. Tapi posisi masih utuh.

Bryan berlutut dan melepas lakban dari mulutnya perlahan.

Andrew tidak langsung bicara.

“Gue... gak ngerti kenapa gue ngelakuin itu,” ucap Andrew parau.

Bryan menatapnya.

“Karena lo capek jadi polisi. Dan malam tadi, lo bukan siapa-siapa. Cuma anjing yang nunggu tuannya datang.”

Andrew menunduk, tak menjawab.

Pagi itu, Bryan tidak menyentuh Andrew lebih dari seperlunya. Tidak memberi pujian, tidak juga hinaan.

Karena penaklukan sejati...
Bukan tentang rantai, bukan soal paksaan.
Tapi ketika seseorang mengunci dirinya sendiri,
dan menunggu… agar diperintah.


CHAPTER 4: Perintah yang Tidak Pernah Diminta


Beberapa hari setelah malam di gudang itu, Andrew kembali ke gedung bank. Tidak ada perintah. Tidak ada undangan. Ia datang karena tugas—secara profesional. Tapi langkahnya lebih lambat, gerak tubuhnya sedikit ragu. Ia tahu Bryan akan ada di sana. Dan dalam pikirannya, suara kunci yang mengunci dari luar itu masih terdengar jelas.

Bryan melihatnya dari kejauhan. Kali ini tidak menyapa seperti biasa. Hanya diam, membiarkan Andrew lewat begitu saja.

Dan anehnya, Andrew justru menunggu disapa.

Di Dalam Ruang Koordinasi

Pertemuan berjalan seperti biasa. Presentasi teknis, pencocokan jadwal pengamanan, logistik. Tapi fokus Andrew buyar. Ia sesekali melirik CCTV sudut ruangan, berpikir apakah Bryan sedang memperhatikan dari monitor.

Sesaat setelah rapat selesai, seorang staf datang ke Andrew dan berkata,

“Pak Andrew, mohon maaf, Satpam senior tadi titip pesan: ‘Kalau Pak Andrew punya waktu lima menit, ditunggu di lantai satu, di pojok area belakang dekat toilet staf.’”

Andrew menahan napas.

“Dia masih main permainan ini…”
Tapi tubuhnya bergerak sendiri.

Sudut Belakang yang Sepi

Area itu sepi. Hanya suara AC tua dan kipas listrik. Bryan berdiri bersandar di dinding, kedua tangannya disilangkan.

“Gue enggak nyuruh lo datang.”
“Tapi lo datang, kan?”

Andrew diam.

“Karena lo mau.”

Bryan mendekat, berdiri persis di depan Andrew.

“Lo masih pakai seragam. Masih kelihatan dominan. Tapi lo tahu gak, dari tadi gue ngatur cara lo berdiri.”

Andrew berkedip. Bryan melanjutkan.

“Lo diem di pojok. Di bawah lampu yang remang. Lo berdiri menunggu tanpa tanya alasan. Lo gak duduk, lo nunduk dikit waktu gue bicara. Dan tangan lo di belakang. Lo sadar itu semua?”

Andrew menelan ludah. Perlahan, ia sadar... semua itu bukan kebetulan.

Bryan melangkah memutari tubuh Andrew seperti sedang memeriksa properti.

“Gue enggak butuh lo ngaku jadi slave. Karena tubuh lo udah ngasih tahu sebelum mulut lo jujur.”

Perintah Halus, Penghinaan Ringan

Hari-hari berikutnya, perintah-perintah kecil datang dalam bentuk yang tak terasa memaksa:

  • Bryan menunjuk kursi kecil saat Andrew datang, bukan kursi tamu. Andrew duduk tanpa protes.

  • Saat Andrew berdiri terlalu tegak, Bryan menepuk lutut kursi: “Bungkuk dikit, polisi yang sopan.”

  • Andrew pernah diminta menunggu 10 menit tanpa ponsel, hanya diam berdiri. Dan ia menurut.

Semua itu... dilakukan Andrew tanpa protes.
Tapi tiap kali selesai, ia pulang dengan wajah bingung dan tubuh gelisah.

“Kenapa gue gak nolak ya?”

Malam yang Berulang

Suatu malam, Andrew kembali ke gudang. Tanpa undangan.

Di dalamnya, sudah tersedia box yang berbeda.
Ada topeng anjing dari neoprene. Collar kulit hitam. Dan satu tulisan:

“Kalau lo pakai ini tanpa disuruh, malam ini lo udah gak butuh izin buat tunduk.”

Andrew memandangi topeng itu lama. Lalu perlahan, ia mengenakannya.
Satu klik di belakang kepala mengunci posisi topeng.

Ia tidak tahu kenapa... tapi air matanya jatuh saat itu juga.

Di luar, Bryan tidak datang malam itu. Tapi Andrew tetap bertahan. Duduk seperti anjing, menunduk, menunggu perintah yang tidak akan datang malam ini.

Dan justru dalam penantian itu, ia menemukan sesuatu:

Kebebasan dalam tidak memilih. Ketundukan dalam diam. Dan rasa memiliki… tanpa diminta.


CHAPTER 5: Bersuara Tanpa Mulut


Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Lampu-lampu kota terlihat buram di balik jendela. Di sudut jalan yang sepi, sebuah motor polisi berhenti di depan rumah minimalis dua lantai. Tanpa sirine. Tanpa pangkat.

Andrew turun tanpa seragam. Hanya kaos polos dan jaket. Tapi di dalam ransel kecilnya… ada collar, neoprene mask, dan sepasang sarung lutut empuk.

Ia mengetuk pelan. Sekali. Dua kali.

Pintu dibuka oleh Bryan. Tidak ada senyum. Hanya tatapan tajam dan kalimat pendek:

“Masuk. Telanjang. Simpan bajumu di kotak bawah tangga.”

Andrew melangkah masuk. Tidak berkata apa-apa. Tubuhnya bergerak otomatis.
Di ruang tamu, dia melepas semua pakaian, menyimpannya rapi di kotak kayu, lalu berdiri menunduk, telanjang, dengan mata tak berani menatap Bryan.

Bryan menunjuk ke lantai.

“Posisi.”

Tanpa perlu dijelaskan, Andrew berlutut. Lalu menekuk kakinya. Lalu membungkuk. Ia tahu betul: posisi anjing.

Perlengkapan Seorang Bukan-Manusia

Bryan membuka kotak peralatan di sebelah sofa. Di dalamnya:

  • Masker neoprene hitam

  • Collar berbahan kulit dengan tag bertuliskan “Property of Bryan”

  • Gag berbentuk tulang

  • Leash logam

  • Knee pads dan mitts

Satu per satu, Bryan pasangkan ke tubuh Andrew. Tidak cepat, tidak kasar—tapi tidak romantis juga. Seperti mempersiapkan anjing peliharaan untuk presentasi.

Terakhir, ia pasangkan bone gag ke mulut Andrew, lalu menepuk kepala botaknya pelan.

“Bersuara.”

Andrew menatapnya. Mulutnya sudah tersekap. Tapi ia tahu maksudnya.

Dan dari dalam tenggorokannya, ia mengeluarkan suara pelan…

“Arf.”

Suara itu pelan, goyah, seperti baru pertama kali belajar bicara.

Bryan berdiri, lalu menunjuk ke arah pojok ruangan.

“Kandang lo. Masuk, diam, dan tunggu.”

Di Dalam Kandang

Kandang itu tidak besar, tapi cukup untuk meringkuk. Ada alas busa tipis dan satu mangkuk air kecil. Andrew merangkak pelan, masuk ke dalam, lalu memutar tubuh hingga badannya pas.

Bryan menutup pintu kandang, lalu mengaitkan gemboknya.
Klik.

Lalu pergi. Tak ada pembicaraan. Tak ada instruksi lanjut. Tak ada pujian.

Andrew hanya bisa melihat dari balik jeruji kandang… Bryan duduk di sofa, menonton TV, santai, sambil mengangkat kaki ke atas meja.

Tidak melihatnya. Tidak menyentuhnya. Tidak menganggapnya ada.

Beberapa Jam Kemudian

Andrew tetap di dalam kandang. Gag masih di mulut, mask masih menutupi wajah. Lututnya pegal, tubuhnya basah oleh keringat, tapi ia tetap diam.

Tapi bukan karena takut. Bukan karena malu.

Karena ia merasa di tempat yang benar.

Saat jam menunjukkan pukul 01:00, Bryan berdiri, mematikan TV, lalu berjalan mendekat.

“Besok, lo akan makan di lantai. Tapi malam ini... tidur. Lo udah cukup jauh turun untuk malam pertama.”

Ia membuka kandang, melepas gag, dan menarik Andrew ke lantai kamar tidur.
Ia tidak memberikan tempat tidur, tapi karpet tipis dengan bantal kecil.

Andrew hanya menatapnya pelan. Lalu, tanpa diperintah, ia menjilati jari kaki Bryan. Satu… dua… pelan. Lalu berguling, dan memejamkan mata.

Malam itu, tidak ada seks. Tidak ada cambuk. Tidak ada teriakan.

Hanya seorang pria yang dulunya penuh kuasa...
Kini diam, dalam kandang, tanpa suara...
Tapi untuk pertama kalinya…

Ia merasa memiliki tuan.
Dan suaranya kini cukup disampaikan dengan satu kata:
"Arf."


CHAPTER 6: Pelatihan Seorang Dogslave


Pagi itu, cahaya matahari menembus sela tirai ruang tamu. Bryan berdiri di depan kandang, tangan menyilangkan dada. Di dalamnya, Andrew terbangun dengan badan pegal, namun tetap dalam posisi meringkuk.

“Bangun.”

Andrew membuka mata, lalu segera merangkak keluar dari kandang tanpa bicara. Ia tahu betul: anjing tidak berbicara kecuali disuruh.

Bryan menunjuk lantai di samping kakinya. Andrew duduk bersimpuh seperti seekor anjing, dengan mata menunduk dan dada kosong dari kebanggaan—hanya ada nafas pelan dan rasa patuh.

Makan di Lantai

Bryan menaruh dua mangkuk di lantai.

Satu berisi air dingin.
Satu lagi berisi nasi tanpa lauk, dicampur sedikit telur orak-arik.
Tidak ada sendok. Tidak ada piring. Hanya lantai dan mangkuk.

“Makan.”

Andrew langsung menunduk dan menjulurkan lidah. Ia makan dari mangkuk, pelan, memalukan… tapi di balik rasa asin keringat dan sisa nasi, ada sesuatu yang tumbuh:
rasa kepemilikan.

Bukan sebagai manusia. Tapi sebagai dogslave.

Pelatihan Dasar

Hari itu, Bryan mulai training.

“Lo hanya boleh ngomong saat gue tanya. Sisanya, lo gonggongan.
Satu gonggongan artinya ya.
Dua gonggongan artinya enggak.
Tiga berarti lo bingung atau butuh bantuan.”

Andrew diam.

Bryan menatap.

“Lo ngerti?”

“Arf.”

Senyum pertama Bryan muncul hari itu.

“Bagus, anjing pintar.”

Tugas Harian

Bryan memberinya rutinitas harian:

  • Jam 08.00: Makan dari mangkuk

  • Jam 09.00–11.00: Menunggu di pojok ruangan tanpa bicara

  • Jam 13.00: Latihan posisi (duduk, guling, merangkak, naik pangkuan)

  • Jam 18.00: Waktu interaksi—menjilat sepatu, menjilat jari kaki, atau jadi sandaran kaki Bryan

  • Jam 21.00: Masuk kandang

Hari-hari itu tidak diisi seks. Tidak juga kekerasan.

Hanya rutinitas, ketertiban, dan perlahan... penghilangan identitas manusia.

Hukuman Pertama

Suatu siang, Andrew bicara tanpa diperintah.

“Tuan, saya...”

Sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Tidak keras. Tapi tepat.

“Anjing enggak pakai suara manusia.”

Andrew terdiam. Lalu perlahan, dengan rasa malu, menggonggong pelan:

“Arf... Arf...”

Bryan duduk di sofa, menarik Andrew ke pangkuannya, lalu menepuk-nepuk punggungnya seperti menenangkan hewan kecil.

“Good boy. Jangan pakai suara lama lo lagi. Gue suka suara lo yang baru.”

Pelatihan tidak membuat Andrew lemah. Justru membuatnya tahu:
Siapa dirinya.
Di mana tempatnya.
Dan kepada siapa dia tunduk.

Dan hari itu, saat ia tidur kembali dalam kandang, matanya menatap langit-langit pelan...

...dan hatinya menggonggong bahagia.


CHAPTER 7: Tuan Tidak Butuh Kata


Hari ke-12 Andrew tinggal bersama Bryan. Hari ke-12 juga ia tidak mendengar suaranya sendiri—selain gonggongan. Perlahan, rutinitas itu bukan lagi latihan. Itu menjadi ritme hidup.

Bryan jarang bicara. Tapi tiap isyaratnya jadi perintah yang jelas.

Sentuhan di lutut: berarti “turun”.
Anggukan ringan ke lantai: berarti “posisi anjing”.
Jari telunjuk ke mulut: “diam total”.
Jari yang mengetuk meja dua kali: “kemari, dekat tuan.”

Dan Andrew tak pernah salah menafsirkan. Ia mulai bisa merasakan perintah bahkan sebelum diberikan.

Bahasa Tubuh: Rantai Tak Terlihat

Suatu sore, Bryan duduk di sofa dengan ekspresi lelah. Ia tidak bicara, tidak menengok ke arah Andrew. Tapi tubuhnya menyender, tangan menggantung di sisi paha.

Andrew yang tadinya duduk di sudut ruangan, perlahan merangkak ke arah sofa. Lalu tanpa instruksi, ia letakkan kepalanya di paha Bryan. Diam. Tenang.

Bryan tak menoleh. Tapi tangannya mendarat di atas kepala Andrew, mengusapnya pelan.

Tidak ada kata. Tapi tubuh mereka bicara banyak.

Ritual Baru: Perawatan Tuannya

Malam itu, Bryan membuka box kecil dan memberikan handuk hangat serta minyak pijat.

Tanpa perlu dijelaskan, Andrew langsung tahu apa yang harus dilakukan.

Ia membuka kaos Bryan perlahan, duduk di lantai, dan mulai memijat kaki, betis, lalu naik ke punggung.

Ia menjilati jari kaki tuannya lebih lama dari biasa malam itu. Tidak hanya karena tugas. Tapi karena ingin.

“Tuan enggak perlu bicara. Gue tahu apa yang Tuan butuhkan.”

“Bukan Anjing Sembarang”

Malam itu, Bryan membuka kandang lebih awal.

“Keluar. Duduk.”

Andrew keluar dan duduk di atas lutut.

Bryan memasangkan collar besi dengan lempengan baru:
BRYAN’S PROPERTY // NO RETURN

“Mulai malam ini, lo bukan anjing liar.
Lo anjing yang punya tuan. Dan lo gak punya alasan lagi untuk berdiri sebagai manusia.”

Andrew mengangguk pelan. Matanya panas. Tapi tak ada air mata. Hanya rasa... dimiliki.

Tantangan Tanpa Bicara

Bryan menguji Andrew: seminggu tanpa satu kata pun. Bahkan dalam tulisan.

Jika lapar: gonggong.
Jika haus: gesek kepala ke kaki.
Jika ingin buang air: garuk pintu.

Andrew berhasil. Dengan sempurna.

“Anjing gue udah lulus level dasar.”

Dominasi bukan selalu lewat cambuk atau perintah keras.
Kadang, dominasi adalah... ketika seseorang merelakan hak untuk bicara,
dan tetap memilih untuk duduk di lantai, membaca tatapan tuannya.

Tanpa suara. Tanpa kata.
Tapi seluruh jiwanya bicara satu kalimat:
"Aku milikmu."


CHAPTER 8: Polisi yang Pulang ke Kandang


Hari Senin pagi.
Andrew mengenakan kembali seragamnya: sepatu hitam mengilap, sabuk dinas, pangkat komisaris di pundaknya. Cermin menampilkan sosok gagah, tenang, dihormati.

Tapi hanya ia dan satu orang yang tahu…
di balik jas dinas itu ada jejak collar,
dan di dalam ransel kerjanya—terselip masker anjing neoprene.

Di Kantor Polisi

Hari itu, Andrew menjalankan tugas seperti biasa. Ia memimpin briefing, menandatangani dokumen, menerima telepon dari Kapolres. Di mata semua orang, dia tegas, tajam, tak tergoyahkan.

Tapi di sela semua itu, pikirannya melayang ke kandang.
Ke lantai dingin tempat ia tidur.
Ke tangan Bryan yang menepuk kepalanya setelah menjilat jari kakinya dengan benar.

Dan saat ada stafnya berkata,

“Pak Andrew, Anda makin disiplin sekarang,”
Ia hanya mengangguk, sambil tersenyum kecil.

Karena mereka tak tahu, dia telah dilatih.
Bukan oleh akademi kepolisian, tapi oleh seorang satpam bank.

Pulang: Dari Pangkat ke Posisi Anjing

Sore itu, Andrew pulang bukan ke rumahnya. Ia langsung menuju rumah Bryan.
Ia tidak perlu diundang.

Setibanya di depan pintu, ia melepas sepatu, lalu berdiri menunduk seperti biasa. Ketukan tiga kali.
Pintu terbuka.

Bryan tidak bicara. Ia hanya berjalan ke dalam. Andrew mengikutinya merangkak, tidak berdiri sama sekali sejak masuk rumah.

Ritual Tuan-Pulang

Begitu di dalam, Andrew mengganti pakaiannya. Tapi kali ini tidak diminta.

Ia membuka seragamnya perlahan, melipatnya rapi. Lalu mengenakan collar dan masker anjing tanpa disuruh.

Ia mengambil mangkuk dari bawah meja. Menaruhnya sendiri di lantai, lalu menunggu sambil menempelkan perut ke lantai dingin.

Bryan datang. Meletakkan sepiring makanan di meja makan—untuk dirinya sendiri.
Untuk Andrew, hanya sisa nasi dan air putih.

“Gue makan dulu. Lo nunggu.”

Andrew tidak bergerak. Ia hanya menggonggong sekali pelan. Lalu diam.

Momen Keintiman Tanpa Romantisme

Setelah makan, Bryan membuka gag dan memerintahkan Andrew naik ke atas lututnya.

Ia tak bicara banyak. Hanya menatap Andrew dalam-dalam.

“Tahu enggak kenapa lo gue pilih?”

Andrew menggeleng pelan.

“Karena lo bisa kuasai orang. Tapi lo enggak pernah tahu rasanya dikendalikan.
Dan ternyata… lo lebih hidup pas lo dilepasin dari pangkat.”

Andrew tidak menjawab. Tapi tubuhnya condong ke depan, dan ia mencium jari kaki Bryan satu per satu, dengan perlahan… lama.

“Good boy.”

Menjelang Tidur

Malam itu, sebelum masuk kandang, Andrew minta izin lewat tulisan:

“Tuan, boleh saya tidur dekat kaki Tuan malam ini?”

Bryan membaca tulisan itu tanpa ekspresi.
Lalu menarik selimut, duduk di kasur, dan menepuk lantai sebelah ranjang.

Andrew langsung tidur meringkuk di bawah ranjang. Tak ada bantal. Tapi matanya tertutup damai.

Di dunia luar, Andrew adalah perwira.
Dihormati, ditakuti, punya kuasa.
Tapi malam ini, seperti malam-malam sebelumnya…
Ia hanya seekor anjing.
Tunduk, diam, dan menunggu tuannya bicara.

Dan anehnya, baru kali ini…
Ia merasa dirinya penuh.


CHAPTER 9: Tugas Seorang Anjing


Pagi itu, Bryan duduk di sofa sambil membaca koran. Andrew, dalam posisi merangkak, sudah menunggu di samping kursi sejak pukul 06.30, hanya memakai collar dan mitts, wajah tertutup masker neoprene yang membuat nafasnya sedikit berat. Di mulutnya: sikat gigi tuannya.

“Bawa ke kamar mandi.”

Tanpa kata, Andrew merangkak menuju kamar mandi, sikat gigi masih dijepit di antara gigi-giginya. Ia meletakkannya dengan pelan di wastafel, lalu duduk menunggu di pojok, menunduk seperti hewan peliharaan setia.

Bryan masuk, tidak menoleh, hanya menyalakan keran dan mulai sikat gigi.
Andrew memperhatikan.
Lalu, tanpa diminta, ia menjilati kaki tuannya—pelan, penuh perhatian. Bryan tak bicara, tapi tidak menghentikan.

Karena itulah tugas seekor dogslave: hadir, tersedia, dan berguna.

Fungsi Nyata Seekor Anjing

Hari itu, Bryan menuliskan daftar perintah di whiteboard kecil:

  1. Antar koran dengan mulut.

  2. Jaga pintu depan, posisi duduk.

  3. Cium sepatu tamu sebagai bentuk salam.

  4. Lepaskan celana Bryan saat ia pulang kerja.

  5. Gonggongan jika lapar, bukan suara.

Andrew mematuhi semuanya tanpa satu pun keluhan.
Saat ada teman Bryan datang ke rumah, Andrew membuka pintu… lalu menunduk, mencium sepatu tamu itu tanpa penjelasan.

Tamu itu melongo.

“Eh… ini?”

Bryan hanya berkata singkat,

“Ignore him. Dia anjing rumah gue.”

Dan tidak ada pertanyaan setelah itu.

Di Luar Tetap Polisi, Di Dalam Tetap Milik

Andrew tetap menjalankan tugas sebagai komisaris di kepolisian.
Tapi tiap malam, saat masuk rumah Bryan, dia langsung buka bajunya, taruh handphone, kenakan collar, masker neoprene, lalu merangkak masuk rumah sambil membawa mangkuk air sendiri.

Tak ada paksaan. Tak ada perintah eksplisit.
Semua karena kebiasaan… dan kerelaan.
Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa di rumah ini.
Hanya milik.

Pelayanan Harian

Satu sore, Bryan mengangkat kaki ke atas meja dan menunjuk ke telapak sepatunya yang kotor.

Andrew langsung merangkak mendekat.
Menjilati perlahan, satu sisi, lalu sisi lainnya.
Menjilat dengan rasa bangga. Karena itulah nilainya sekarang: menjadi alat kebersihan untuk tuannya.

Setelahnya, Bryan berkomentar datar:

“Jangan buru-buru. Kotoran itu dari jalanan. Lo pantas rasain perlahan.”

Andrew menggonggong dua kali.
Artinya: Ya, Tuan.

Misi Pertama di Luar Rumah

Bryan memberi perintah pertama untuk keluar rumah sebagai dogslave.

“Besok malam, lo bakal nganter paket ke toko sebelah. Jalan lewat belakang. Pakai masker anjing, jalan merangkak. Paketnya bawa di mulut. Gak ada orang, tapi tetap aja itu tugas lo. Paham?”

Andrew hanya menjawab dengan satu gonggongan pelan.

“Arf.”

Seekor anjing tidak menuntut penjelasan.
Tidak minta alasan.
Hanya melayani.

Dan Andrew tahu:
Semakin banyak tugas yang dia lakukan, semakin tidak manusiawi dirinya… maka semakin dalam juga rasa dimiliki oleh tuannya.

Dan malam itu, setelah membersihkan kaki Bryan…
Ia masuk kandang sambil menggonggong tiga kali.

“Terima kasih karena telah menjadikanku milikmu, Tuan.”


CHAPTER 10: Saat Tuan Menghilang


Jam 7 pagi.
Mangkuk air Andrew sudah kosong sejak semalam. Biasanya, pukul 6:30 Bryan sudah keluar dari kamar, menyapa dengan satu pandangan dingin atau tendangan pelan di bokongnya.

Tapi pagi itu… tidak ada suara. Tidak ada langkah. Tidak ada tuan.

Andrew tetap di posisi: merangkak di sisi kandang, kepala menunduk, menunggu.
Satu jam. Dua jam.

Pintu kamar Bryan tidak terbuka.

Sunyi yang Menggerus

Pukul 10.
Andrew sudah lapar. Biasanya, makanan di lantai disiapkan jam 8. Tapi tidak ada.
Ia menggesekkan kepala ke lantai. Gonggongan pelan pun tak mendapat balasan.

Ia mencoba menjilat keran kamar mandi, berharap ada tetesan air.
Tak ada.

Tapi ia tidak berdiri. Tidak bicara. Tidak menelpon.
Karena itu artinya keluar dari perannya. Dan perintah terakhir Bryan adalah:

"Lo cuma boleh jadi anjing."

Tengah Hari: Masuk Kandungan Emosi

Pukul 12 siang.
Andrew menggonggong pelan tiga kali.

Arf. Arf. Arf.
(Artinya: Bingung. Butuh petunjuk.)

Tidak ada yang membalas. Tidak ada suara kunci pintu. Tidak ada sapaan.

Andrew mulai menangis. Tapi tetap di posisi merangkak.
Air matanya jatuh ke lantai.
Bukan karena sakit, tapi karena takut… ia kehilangan tempatnya.

Sore Hari: Halusinasi Kepemilikan

Jam 4.
Andrew mulai membayangkan suara Bryan:

“Good boy.”
“Turun.”
“Cium kakiku.”
“Masuk kandang.”

Suara-suara itu menari dalam kepalanya.
Tapi tak ada Bryan. Tak ada perintah.

Hanya diam. Hanya lantai dingin.
Dan dirinya—yang tetap menunggu.

Malam: Kembalinya Tuannya

Jam 8 malam.
Suara kunci pintu terdengar.
Andrew tidak menoleh. Ia tetap di posisi. Karena anjing tidak berhak menyambut sebelum dipanggil.

Bryan masuk pelan. Tak bicara.

Lima menit ia berdiri di belakang Andrew yang tetap diam di lantai. Lalu akhirnya berkata:

“Lo gak makan, gak minum, gak tidur di kasur. Tapi lo tetap di posisi lo?”

Andrew menggonggong satu kali.

“Arf.”

Bryan membungkuk. Tangannya menyentuh kepala Andrew pelan.

“Anjing gue udah siap masuk fase selanjutnya.”

Lalu ia buka collar Andrew… dan menggantinya dengan yang berbahan besi berat, dengan gembok kecil.

“Mulai hari ini… lo gak akan bisa buka ini sendiri.
Lo cuma bisa telanjang… kalau gue izinkan.
Lo bukan anjing rumah lagi.
Lo udah jadi properti. Gue simpen. Gue kontrol. Lo punya gue sepenuhnya.”

Malam yang Tenang

Malam itu, Andrew diberi makan dari tangan Bryan sendiri. Air diisi kembali. Diberi pelukan di lantai. Tidak banyak kata.

Lalu… dikunci di kandang seperti biasa. Tapi kali ini dengan kain selimut tipis dan kalimat lirih:

“Good dog. Jangan takut sendirian. Anjing sejatiku enggak pernah ditinggal… cuma diuji.”

Tunduk bukan hanya soal siapa yang memukul siapa.
Tapi siapa yang menunggu tanpa tahu kapan diperintah… dan tetap di tempat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Andrew tidur bukan karena lelah…
Tapi karena lega. Ia lulus ujian tanpa suara. Tanpa arahan. Hanya dengan kesetiaan.


CHAPTER 11: Di Depan Tamu Tuan


Hari Sabtu sore. Bryan memberi arahan tertulis di whiteboard:

“Hari ini ada dua tamu.
Lo tetap jadi anjing.
Lo akan menyambut mereka, menjilat sepatu mereka, dan duduk di bawah meja saat kami makan.
Kalau mereka bicara padamu, lo hanya boleh gonggongan.
Kalau lo salah, lo akan dihukum di depan mereka.”

Andrew membaca tulisan itu dengan gemetar. Tapi tidak protes. Ia hanya menunduk, lalu menggonggong pelan:

“Arf.”

Persiapan: Bukan Sekadar Alat

Bryan memakaikan peralatan lengkap:

  • Masker neoprene

  • Collar besi

  • Mitts dan kneepads

  • Gag bone

  • Leash

Lalu menempatkan Andrew di posisi duduk dekat pintu.

“Kalau bel bunyi, lo buka pintunya sendiri. Lo tahu cara pakai kaki lo, kan?”

Andrew mengangguk sambil merangkak ke posisi siap.

Tamu Datang

Bel rumah berbunyi. Andrew langsung merangkak ke arah pintu, menarik tuas dengan kepalanya hingga pintu terbuka perlahan.

Dua pria masuk. Salah satunya mengenakan batik, satu lagi t-shirt dan sandal. Mereka menatap Andrew sebentar… lalu tersenyum lebar.

“Ini yang lo ceritain, Bryan?”

“Yup. Komisaris Polisi. Sekarang anjing rumah gue.”

Tamu itu menaruh sepatunya di depan pintu.
Andrew langsung menunduk dan menjilat debu dari permukaan sepatu itu.
Lama. Diam. Tidak disuruh.
Karena itu perannya.

Di Bawah Meja

Selama makan malam, Andrew tidak diberi piring. Ia duduk diam di bawah meja makan, menjilati piring kotor setelah selesai. Tangannya tetap dalam mitts. Kakinya tak boleh berdiri. Tiap kali ingin bicara, ia harus menggonggong.

“Dia ngerti kode ya?”
“Banget. Satu gonggongan iya. Dua enggak. Tiga berarti bingung.”

Seorang tamu menjatuhkan sendok.
Andrew langsung mengambil sendok itu dengan mulutnya, lalu memberikannya dengan leher tertunduk.
Tanpa diminta.

Tamu itu berkomentar:

“Ini lebih patuh dari anjing peliharaan gue.”

Bryan tertawa pelan.

Penghinaan Terkendali

Setelah makan, salah satu tamu meletakkan telapak kaki di atas kepala Andrew.

“Dia nyaman diperlakukan gini?”

Bryan menjawab datar:

“Dia gak nyaman. Tapi dia tahu, ini tempatnya.
Dia bukan dicintai karena nyaman. Dia dicintai karena tunduk.”

Andrew tidak bergerak. Lehernya menahan tekanan kaki itu. Tapi di balik gag dan masker, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sakit… tapi karena bangga.

Hukuman Kecil, Bukti Kepemilikan

Saat tamu meninggalkan rumah, Andrew tidak menjilati sepatu salah satu tamu karena terlalu cepat keluar.

Bryan berdiri di belakangnya.
Menarik leash, mendorong Andrew ke lantai, dan memukul bokongnya tiga kali.

“Tugas anjing itu total. Gak setengah. Lo malu karena gagal, atau gue malu karena milikin lo?”

Andrew menggonggong tiga kali:

“Bingung. Minta arahan.”

Bryan menunduk.

“Lo belajar, good dog. Besok ulang. Tapi lebih rendah dari hari ini.”

Dunia mungkin menganggap Andrew sakit.
Tapi malam itu, ia tidur dengan kepala di atas kaki Bryan.
Bibirnya menempel ke punggung jari Bryan.
Dan di dalam dirinya: tenang.
Karena tuannya tidak menyembunyikan dia. Tidak menyamarkan. Tapi mengakui:
“Ini anjing gue.”


CHAPTER 12: Tanda Milik di Tubuhku


Pagi itu, Bryan memanggil Andrew ke tengah ruangan. Tak ada peralatan. Tak ada gag. Hanya collar di leher, tubuh telanjang, dan tatapan tajam dari tuannya.

“Lo udah tinggal di sini.
Lo makan dari mangkuk.
Lo tidur di kandang.
Lo tunduk sepenuhnya.
Tapi masih ada yang kurang.”

Andrew menunduk. Tak bertanya.

“Lo belum punya tanda permanen. Gue gak bisa gembok jiwa lo…
Tapi gue bisa cap tubuh lo.”

Persiapan Cap Milik

Sore itu, Bryan mengeluarkan sebuah alat cap kecil berbentuk lingkaran, dengan huruf “B” di tengah. Besi baja ringan, tapi cukup untuk membakar kulit.

Andrew melihatnya… tubuhnya gemetar. Tapi tidak menolak. Tidak bicara.

Bryan memasukkan alat itu ke bara api portable. Sementara Andrew… membuka lututnya, menunduk, dan memperlihatkan bagian bokong kirinya—siap menerima apa pun yang diberikan.

“Satu kali tekan. Kalau lo bergerak, akan jelek. Dan lo akan gue ulang.”

Bryan mengambil alat itu.
Udara menjadi senyap.

Hisssss—!!!
Bau kulit terbakar. Daging melepuh.
Andrew tidak bergerak.
Tidak teriak.
Hanya air mata menetes… dari rasa dimiliki.

Tato Kedua: “Bryan’s Property”

Seminggu kemudian, Bryan membawanya ke studio tato kecil milik kenalannya.
Andrew tetap pakai masker neoprene, hanya kaus panjang menutup tubuhnya.

Tato artis membuka paha dalam Andrew. Bryan menunjuk area paling lembut dekat selangkangan.

“Di sini. Huruf kecil. Tapi jelas.”

Tiga kata.
"Bryan’s Property."

Prosesnya 30 menit. Tapi bagi Andrew… itu seperti menyegel perasaan yang selama ini diam.
Kini tertulis. Kini terlihat.

Dan kini… tidak bisa disangkal.

Dokumentasi Milik

Malam harinya, Bryan mengambil foto Andrew dari berbagai posisi:

  • Duduk di kandang, dengan cap di bokongnya terlihat.

  • Merangkak, paha dalam terbuka, memperlihatkan tatonya.

  • Menjilati sepatu Bryan sambil mata tertutup.

Semua foto disimpan rapi dalam folder:

🐶 “MY DOGSLAVE – OFFICIAL PROOF”

Perawatan Setelah Dicap

Setelah semua selesai, Bryan menyuruh Andrew mandi. Ia sendiri yang membantu membersihkan luka cap dengan salep, menepuknya pelan.

“Cap ini bukan cuma milik. Ini tanggung jawab.
Lo bukan binatang buas. Lo bukan mainan liar.
Lo milik gue. Dan gue rawat lo.”

Andrew tidak sanggup bicara. Tapi dari tatapan matanya—air mata itu bukan luka.
Itu pengakuan.

Tanda luka akan sembuh.
Tapi bekas milik tidak.

Dan malam itu, saat Andrew tidur di kandangnya, ia menyentuh bokongnya perlahan…
lalu menggonggong satu kali pelan.

“Arf.”

Terima kasih, Tuan… sudah menjadikanku nyata.


CHAPTER 13: Hari Pertama Sebagai Milik Publik


Pagi itu, Bryan berdiri di depan Andrew yang masih dalam kandang. Tanpa banyak basa-basi, ia membuka pintu kandang, lalu berkata:

“Hari ini... lo tetap jadi anjing.
Dari pagi sampai malam.
Enggak ada pengecualian. Bahkan kalau ada orang.”

Andrew menunduk. Jantungnya berdebar.

“Termasuk... saat tukang paket datang. Termasuk kalau tetangga nanya. Termasuk kalau lo harus ke pagar.”

Bryan mendekat, lalu mencium kening Andrew.

“Hari ini lo bukan hanya milik gue di rumah…
Tapi di mata dunia.

Penampilan Anjing Seutuhnya

Andrew dipakaikan full gear:

  • Masker neoprene

  • Collar besi dengan tag “DOG #001 / BRYAN’S PROPERTY”

  • Mitts, kneepads

  • Leash panjang

  • Gag bone

  • Ekor plug

Bryan membawanya ke ruang depan, lalu menaruh mangkuk air dan makanan di dekat jendela—tempat siapa pun dari luar bisa melihat.

“Makan di situ. Lo dipajang. Tapi bukan buat pamer.
Buat ngingetin lo siapa lo sekarang.”

Andrew memulai hari dengan menunduk, menjilati makanannya di depan kaca.
Di luar, seorang tetangga lewat. Tatapan bingung, tapi Bryan hanya membuka tirai lebih lebar.
Tak ada penjelasan. Tak ada malu.
Karena ini bukan roleplay. Ini properti nyata.

Menerima Paket Sebagai Anjing

Pukul 10:15, bel berbunyi. Paket datang.

Bryan tak membuka pintu.
Ia hanya berkata:

“Pergi, buka pintu. Pakai mulut, kalau bisa.”

Andrew merangkak ke depan pintu.
Menariknya dengan gigi. Saat pintu terbuka, kurir berdiri bengong melihat sosok bertopeng anjing membuka pintu dengan merangkak.

“Ehh… Pak Bryan?”

Andrew menggonggong pelan.

“Arf.”

Kurir meletakkan paket di lantai. Tak berkata banyak.
Andrew menjilatinya sekali, lalu menyeretnya pelan ke arah dalam.

Bryan tertawa kecil dari dalam:

“Gue suka ngeliat dunia mulai tahu… siapa lo sekarang.”

Tetangga Ingin Tahu

Sore hari, tetangga sebelah, Pak Dimas, mampir dan memanggil dari pagar.

Bryan keluar.

“Mas Bryan… tadi saya lihat… itu?”

“Iya. Dia dogslave gue. Permanen.”

Pak Dimas terdiam sejenak. Lalu hanya mengangguk pelan.

“Selama dia bahagia… ya… ya sudah.”

Di dalam, Andrew menggonggong sekali—ia mendengar semuanya.
Dan itu cukup.

Penutup Hari

Malamnya, Bryan melepas gear Andrew, satu per satu. Lalu membuka bone gag dan masker.

Andrew hanya berbisik pelan:

“Tuan... hari ini luar biasa.”

Bryan membelai kepalanya, lalu menunjuk ke dada Andrew.

“Besok lo bakal pakai kalung ini keluar.
Biar dunia tahu… yang biasa berdiri dengan pangkat,
sekarang lebih jujur saat merangkak.”

Dunia luar tidak selalu harus menerima.
Tapi Andrew tidak butuh diterima. Ia butuh diakui—oleh tuannya.

Dan hari itu…
tanpa satu kata pun dari dunia,
ia merasa lebih terlihat dari sebelumnya.

Karena akhirnya, ia menjadi dogslave…
bukan hanya di rumah. Tapi di mata dunia.


CHAPTER 14: Di Bawah Meja Saat Rapat


Hari itu, Bryan mengenakan kemeja lengan panjang dan celana formal. Bukan gaya biasanya. Andrew memperhatikannya sambil merangkak ke ruang tengah, masih mengenakan collar dan mitts.

“Tuan... rapat?”
(Andrew menulis di papan kecil, karena hari itu ia tak diizinkan bicara.)

Bryan mengangguk.

“Gue sewa ruang meeting kecil. Tapi gue enggak pergi sendirian.
Lo ikut. Tapi bukan sebagai manusia.”

Andrew menunduk. Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu… itu berarti akan dibawa keluar. Dalam peran. Di tempat asing.

Persiapan Dogslave Mobile

Di dalam tas besar Bryan:

  • Masker neoprene

  • Bone gag

  • Leash

  • Lutut pelindung

  • Papan tulis kecil untuk komunikasi

  • Salep, air minum, dan mangkuk portable

  • Tikar kecil

  • Selimut gulung

“Selama gue presentasi, lo diem di bawah meja.
Lo bukan siapa-siapa. Tapi gue tahu lo ada.
Dan kaki gue bakal nemuin lo kalau gue butuh.”

Andrew hanya menjawab:

Arf.

Perjalanan yang Menegangkan

Dalam mobil, Andrew duduk di kursi belakang, diam, mengenakan hoodie besar untuk menyembunyikan gear-nya. Tapi collar tetap terasa berat di lehernya. Suara gantungan tag kecilnya bergemetik tiap mobil belok.

Sesampainya di ruang sewa—ruangan minimalis dengan meja panjang dan layar presentasi—Bryan masuk duluan, Andrew menunduk, berjalan cepat lalu langsung merangkak ke bawah meja sebelum tamu lain masuk.

Rapat Dimulai, Anjing Menjaga Diam

Dua orang hadir. Salah satunya mengenakan jas. Yang satu lagi tampak seperti staf proyek.
Bryan bicara profesional. Slide berganti. Suara tegas. Fokus.

Tapi di bawah meja, Andrew dalam posisi meringkuk di ujung dekat kaki Bryan.
Leash-nya dililit ke kaki kursi. Matanya tertutup, napas ditahan.
Ia tidak eksis. Tapi juga sepenuhnya hadir.

Setiap kali Bryan menggeser kakinya, Andrew mencium atau menjilatinya pelan.
Tidak mencolok. Tapi cukup untuk tuannya tahu:

“Saya di sini, Tuan.”

Insiden Kecil

Salah satu tamu menjatuhkan pulpen ke lantai. Pulpen itu menggelinding ke arah Andrew.

Seketika… tatapan mereka bertemu. Tamu itu sempat terdiam beberapa detik.
Bryan tidak bereaksi. Ia hanya terus berbicara seolah tak ada yang terjadi.

Tamu itu mengambil pulpennya. Tidak berkata apa-apa. Tapi dari ekspresi matanya…
Ia mengerti sesuatu.
Dan memilih diam.

Setelah Rapat

Setelah tamu pergi, Bryan turun ke bawah meja, duduk di lantai, membuka masker Andrew.
Andrew berkeringat, pipinya memerah karena posisi terlalu lama.

“Capek?”
“Arf.” (Tersenyum.)

Bryan mencium keningnya.

“Lo berhasil. Di bawah tekanan, lo tetap diam.
Dan lo tetap anjing gue, bahkan ketika gak ada yang melihat.”

Hari itu, Andrew tak berdiri. Tak bicara.
Tapi ia menjadi bagian dari presentasi.
Sebagai penyangga, pelengkap, dan simbol kepemilikan.

Tak perlu pengakuan. Tak perlu ditunjuk.
Karena dogslave sejati, tahu posisinya… bahkan dalam keheningan.


CHAPTER 15: Akhirnya, Aku Tak Lagi Punya Rumah Selain Dirimu


Sudah tiga bulan berlalu sejak malam pertama Andrew tidur di kandang.
Tiga bulan sejak mangkuk jadi piringnya, dan leash jadi tali jiwanya.

Tapi hari itu berbeda.
Ia bangun pagi, masih dalam kandang, dan melihat Bryan duduk di depan meja kerja dengan map besar bertuliskan:

“Pemberhentian Diri - Kepolisian Republik Indonesia”

Surat Pengunduran Diri

Bryan meletakkan surat itu di lantai.
Andrew merangkak, membacanya pelan.

“Gue udah siapkan semua.
Tinggal tanda tangan lo.
Setelah ini… gak ada pangkat.
Gak ada pekerjaan.
Gak ada dunia yang lo miliki…”

Bryan menatapnya tajam.

“…selain gue.”

Andrew tidak langsung menjawab. Ia mengambil spidol, menulis di papan kecil:

“Kalau aku milikmu… dunia bukan lagi tujuanku.”

Kemudian, ia mengambil pulpen dengan mulutnya.
Merangkak ke meja.
Lalu dengan tangan dalam mitts, ia membubuhkan tanda tangan.

Meninggalkan Dunia Lama

Hari itu juga, Andrew menyerahkan lencana, seragam, dan dokumen pribadi.
Ia menghapus semua akun medsos.
Menutup rekening atas namanya.
Memindahkan semua surat tanah ke Bryan.

Identitas manusianya dimatikan.

Yang tersisa hanya: collar, kandang, dan… suara gonggongan yang tulus.

Hidup Baru, Milik Sepenuhnya

Bryan menyiapkan kamar baru. Tapi bukan dengan kasur.

Kamar itu seperti ruang anjing:

  • Kandang di pojok

  • Rak berisi leash, gag, dan bone toy

  • Cermin rendah

  • Kamera CCTV pribadi (untuk memantau saat Bryan tak di rumah)

  • Tempat pipis anjing

Andrew tidak memprotes. Justru tersenyum.
Dan malam itu, ia meringkuk sendiri di kandangnya.
Tidak karena dihukum. Tapi karena itulah rumahnya sekarang.

Janji Terakhir

Sebelum tidur, Bryan membawakan selembar perjanjian.
Di atasnya tertulis:

Kontrak Milik Permanen - Tidak Dibatalkan Sepihak
Nama: Bryan
Properti: Andrew
Status: Dogslave – Tanpa Hak Lepas Kecuali atas izin Tuan

Andrew menandatangani dengan darah dari ujung jarinya.
Bryan menempelkan cap panas di bawah tanda tangan itu.

“Dengan ini, lo bukan cuma anjing gue…
Tapi bagian dari gue. Gak ada pulang. Gak ada selesai.
Lo bukan budak sementara.
Lo milik gue selamanya.

Dunia di luar tetap berjalan.
Tapi di satu rumah, di satu ruangan, di balik satu kandang…
Ada seorang mantan komisaris,
yang kini hidup sepenuhnya sebagai anjing.

Tidak karena dipaksa.
Tapi karena… di situlah ia bahagia.

Tidak sebagai penegak hukum.
Tapi sebagai dogslave milik Bryan.

Dan setiap malam, sebelum tidur, ia menuliskan tiga huruf di papan kecil:

“TPE.”
Total Power Exchange.

Satu dunia yang ditinggalkan,
untuk dunia yang benar-benar miliknya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anjing Milik Bagas

Harga Tunduk Seorang Brian