Anjing Milik Bagas
Disclaimer:
Cerita ini fiksi dewasa dengan tema BDSM dan humiliation. Semua adegan hanya untuk hiburan dan harus dilakukan dengan persetujuan dan keamanan di dunia nyata.Chapter 1: Pertemuan Pertama
Malam itu hujan turun rintik. Sebuah mobil hitam berhenti di parkiran minimarket kecil pinggiran kota. Di dalamnya, seorang pria duduk dengan postur tenang, mengenakan kaos gelap dan jaket kulit. Bagas, pria tiga puluhan, sorot matanya tajam tapi tidak terburu-buru—ia tahu malam ini bukan soal agresi, tapi soal seleksi.
Seseorang berjalan mendekat. Posturnya sedikit canggung, langkahnya teratur tapi tak percaya diri. Haryo, pria dua puluhan, rambut pendek rapi, membawa botol air mineral sebagai alasan pura-pura. Mereka telah saling kirim pesan selama beberapa minggu lewat aplikasi, dan malam ini adalah ujian pertama: keberanian hadir di dunia nyata.
Bagas turun dari mobil. Tidak ada salaman. Hanya tatapan yang menghantam langsung ke pusat rasa malu Haryo.
“Berdiri diam,” perintah Bagas datar.
Haryo menurut.
“Lihat gue. Bukan ke bawah.”
Dengan ragu, Haryo menatap. Napasnya cepat. Tangannya mengepal. Bagas mendekat, hanya beberapa sentimeter dari wajah Haryo. “Kamu tahu kenapa kamu di sini?”
Haryo mengangguk pelan.
“Bilang.”
“…Saya mau… jadi budak Master.”
Bagas memutar lehernya sedikit, lalu menatap tajam. “Budak? Kamu pikir gue cari budak? Gue gak butuh manusia. Gue cari anjing. Budak itu masih mikir, masih bisa merengek. Anjing, tunduk. Nggak ada tanya-tanya.”
Haryo gemetar kecil.
Bagas menengok ke kiri, memastikan sekitar cukup sepi. Kemudian ia bicara pelan tapi tegas, “Gue pengen tahu sejauh apa kamu niat. Turun. Sekarang. Duduk di lantai. Gak perlu ngomong.”
Haryo ragu sejenak.
“Sekali lo ragu, lo pulang. Gak ada sesi dua. Sekali.”
Perintah itu berat. Di trotoar yang dingin, dengan kemungkinan siapa pun bisa melihat. Tapi Haryo perlahan berlutut, lalu duduk, kakinya terlipat, matanya menunduk. Malu melingkupi tubuhnya, tapi juga… rasa lega. Ini nyata. Akhirnya ia dihina, diuji. Dan ia tetap di sana.
Bagas jongkok di depannya. Menyentuh dagu Haryo, mengangkat wajahnya.
“Bagus. Tapi belum cukup.”
Dia berdiri, melangkah mundur. “Gonggong sekali.”
Haryo menelan ludah. Matanya menutup sejenak, lalu…
“Guk.”
Suara kecil, tercekat. Tapi tulus. Dan di situlah Bagas tahu—Haryo bukan lagi hanya calon. Ia telah menyeberang. Ia siap dibentuk.
Bagas membuka pintu mobil, lalu menoleh sebentar, “Pulang. Gue akan hubungi lo malam ini. Dan mulai besok, nama lo bukan Haryo lagi.”
Mobil melaju pelan. Haryo masih duduk di trotoar, tubuhnya gemetar, antara malu dan ketagihan. Dunia baru telah terbuka. Dan ia tidak ingin mundur.
Chapter 2: Nama Anjing
Malam itu, ponsel Haryo bergetar. Pesan singkat dari Master Bagas:
“Datang ke unit 308. Jangan bicara. Jangan pakai baju dalam. Bawa kalung apa pun.”
Jantung Haryo berdegup keras. Ini bukan sekadar roleplay. Ini transformasi.
Ia tiba setengah jam kemudian. Bagas membukakan pintu tanpa kata, lalu melangkah ke dalam, meninggalkannya berdiri di ambang. Apartemen kecil tapi rapi. Tanpa banyak barang, tapi aura kepemilikan begitu kuat. Ada tali tergantung di gantungan baju. Sebuah mangkuk di pojokan.
“Masuk. Tutup pintu. Telanjang.”
Suara Bagas datar, tanpa emosi. Perintah itu seperti palu godam—menghancurkan sisa-sisa harga diri yang Haryo bawa dari luar.
Pelan-pelan, ia melepas semua. Kaos. Celana. Dan terakhir, celana dalam. Ia berdiri gemetar, telanjang total, di tengah ruangan asing milik seseorang yang baru ia kenal beberapa hari secara nyata. Tapi tubuhnya tidak bergerak mundur. Ada bagian dalam dirinya yang justru merasa… pulang.
Bagas berjalan mendekat. Mengambil kalung yang dibawa Haryo—kulit hitam sederhana.
“Ini kalung kamu?”
“Iya, Master…” gumam Haryo nyaris tak terdengar.
Bagas menatapnya tajam. “Kamu masih pakai nama manusia. Itu gak akan terjadi lagi.”
Ia mengangkat kalung itu, lalu perlahan memakaikannya ke leher Haryo. Dikunci dari belakang dengan klik kecil.
“Mulai sekarang, kamu bukan Haryo. Kamu adalah…”
Bagas berhenti sebentar, lalu meludah ke lantai di dekat kaki Haryo. “DOG 01.”
Nama itu menyayat. Kasar. Fungsional. Tapi tidak ada protes. Hanya napas yang makin berat dari DOG 01.
“Ulangi,” perintah Bagas.
“Saya… DOG 01, Master.”
“Ulangi tanpa ‘saya’. Kamu bukan manusia.”
“…DOG 01, Master.”
“Bagus.”
Bagas berputar. Mengambil papan kecil, lalu menuliskan dengan spidol hitam:
PROPERTY OF MASTER BAGAS – DOG 01
Papan itu ia letakkan di lantai, tepat di depan DOG 01 yang masih berdiri kaku. Lalu satu isyarat tangan, “Turun. Empat kaki.”
Tanpa pikir panjang, DOG 01 turun. Telapak tangan dan lutut menempel ke lantai.
“Lidah keluar. Gonggong satu kali.”
“Guk.”
“Sekarang, makan ini.”
Bagas menyeret mangkuk kecil berisi campuran bubur dan remahan biskuit. Tidak menjijikkan, tapi jelas bukan makanan manusia. DOG 01 menunduk, menyuapnya dengan lidah. Tangannya tetap di lantai. Pipinya merah padam, tapi ia terus menjilat.
Setelah beberapa menit, Bagas berdiri. “Bagus, Dog. Lo belum sempurna, tapi lo sudah mulai lupa bentuk manusia lo. Lo di jalur yang benar.”
DOG 01 menggonggong pelan. Matanya basah.
Malam itu, ia tidur di atas karpet kecil, tanpa bantal, hanya diberi selimut tipis. Tapi di dalam dirinya, justru terasa hangat. Ia tidak lagi mencari cinta. Ia telah menemukan tuannya.
Chapter 3: Kerah dan Tali
DOG 01 masih tidur di lantai ketika suara kunci pintu berderak. Master Bagas masuk dengan kantong plastik dan satu gulungan tali merah.
“Bangun. Duduk.”
Tanpa berkata, DOG 01 bangkit dan duduk bersimpuh. Matanya menunduk, seperti kemarin, tapi kali ini tanpa perlawanan dari dalam dirinya.
Bagas membuka plastik. Mengeluarkan collar kulit hitam berbahan tebal, lengkap dengan D-ring di depan.
“Kalung yang lo bawa kemarin? Itu mainan,” katanya sambil berjalan mendekat. “Yang ini milik.”
Tanpa banyak bicara, Bagas memasang collar baru di leher DOG 01. Klik. Ditekan kuat hingga terasa berat menempel di tulang leher. Tali panjang disambungkan. Bagas menggenggam ujungnya.
“Empat kaki. Belajar jalan.”
DOG 01 merangkak.
“Lambat. Di kanan gue. Kepala jangan lebih tinggi dari lutut gue.”
Perintah demi perintah keluar. Master Bagas menggiringnya memutari ruangan: pelan, kemudian cepat, lalu berhenti mendadak. Tiap kali DOG 01 gagal mengikuti, tali ditarik keras. Tidak menyakitkan, tapi membuat refleks tunduk. Refleks itulah yang Bagas inginkan—bahwa DOG 01 akan merespons tarikan tali, bukan suara.
“Lidah keluar,” ucap Bagas. “Anjing itu gak diem. Dia napas dari mulut. Lo juga.”
DOG 01 mulai terbiasa. Lidahnya menggantung, tubuhnya sedikit menunduk. Ia bahkan mulai mencari ritme dari langkah Master. Tapi tubuhnya masih terlalu ‘manusiawi’. Terlalu lurus.
“Bungkuk. Pantat lo terlalu tinggi. Lo bukan budak, lo anjing.”
Tali ditarik lagi. DOG 01 jatuh ke depan, dagunya menyentuh lantai. Bagas tersenyum kecil.
“Bagus.”
Setelah setengah jam melingkari ruangan, Bagas mengikat tali di gagang pintu. DOG 01 disuruh duduk di posisi “sit”—lutut dilipat, tangan di lantai, kepala menunduk.
“Gue bakal tinggalin lo 15 menit. Gak gerak, gak nafas keras. Kalo lo rubah posisi, lo tidur tanpa makan.”
Lalu Bagas keluar ke balkon. Merokok. Menunggu. Mendengarkan.
DOG 01 diam. Tak bergerak. Tapi dalam pikirannya, badai rasa malu, ragu, bangga, dan tunduk bertabrakan satu sama lain. Namun ia tetap diam. Karena tubuhnya bukan miliknya lagi. Ia belajar satu prinsip: "Tubuh anjing, kendali Master."
Ketika Bagas masuk kembali, DOG 01 masih di tempat yang sama.
“Good dog.”
Satu tepukan di kepala. Satu pujian kering. Tapi bagi DOG 01, itu lebih berharga dari pelukan siapa pun.
Chapter 4: Aturan Dasar
Pagi itu, udara dingin dari jendela apartemen mengisi ruang kosong di antara mereka. Master Bagas duduk santai di sofa, sambil menatap DOG 01 yang masih duduk bersimpuh di lantai, matanya menatap lantai.
“Kita mulai hari ini dengan aturan baru. Lo harus ingat, aturan ini bukan cuma buat hari ini. Ini kontrak gak tertulis yang lo tandatangani pakai otak dan badan lo,” ujar Bagas.
Ia meraih buku catatan kecil, lalu membuka dan mulai membacakannya pelan, satu per satu:
-
Panggil Master dengan dua gonggongan setiap kali ingin berbicara atau minta izin.
-
Tidak boleh menyebut nama asli “Haryo” atau “aku”. Hanya boleh sebut DOG 01.
-
Setiap malam, latihan posisi anjing selama minimal 30 menit, baik online lewat video call atau langsung, tergantung kondisi.
-
Tidak boleh duduk di sofa, hanya di lantai atau karpet kecil yang disediakan. Sofa adalah milik Master.
-
Harus minta izin dulu untuk ke kamar mandi. Tidak boleh langsung berdiri dan pergi.
-
Bicara hanya ketika diperintahkan, dan gunakan suara anjing (gonggongan, geraman kecil) saat menjawab.
-
Larangan menyentuh diri tanpa izin Master. Kontrol nafsu total.
-
Saat Master keluar rumah, lo harus tetap dalam posisi “sit” atau “down” sesuai instruksi, jangan gerak sampai Master pulang.
-
Jika melanggar, konsekuensi berupa cambuk ringan atau penahanan di kandang kecil malam hari.
Bagas menutup buku catatan itu dengan suara tegas. “Kamu ngerti?”
DOG 01 mengangguk pelan, lidahnya mulai menggantung seperti anjing yang sedang menunggu perintah.
“Kalau lupa aturan, jangan harap dapet maaf. Gue gak suka manusia yang ngotot. Lo bukan manusia. Lo anjing. Tugas lo cuma satu: nurut.”
Suasana sesaat hening. Di sudut ruangan, sebuah mangkuk berisi air dan makanan anjing berdiri diam, menunggu tindakan DOG 01.
Bagas berdiri dan berjalan ke rak, mengambil tali pendek. Ia merentangkan di depan DOG 01.
“Ini simbol tanggung jawab lo. Lo harus jaga posisimu sebagai anjing, bukan manusia. Lo gak bebas. Lo punya pemilik. Lo milik gue.”
Dengan cepat, tali itu dipasang pada collar DOG 01. Ia menarik pelan, mengingatkan bahwa setiap gerakannya kini ada dalam kendali.
DOG 01 menunduk, menerima.
Hari itu dimulai bukan hanya sebagai hari biasa, tapi sebagai hari di mana batas antara manusia dan anjing semakin kabur.
Chapter 5: Ujian Ketaatan Publik
Malam itu, apartemen sepi. Namun Bagas berkata, “Kita keluar sebentar. Bawa collar dan leash.”
DOG 01 gemetar. Ini ujian nyata pertama di luar tembok aman. Mereka naik mobil menuju area parkir apartemen yang agak sepi.
Begitu turun, Bagas melepas hoodie, memperlihatkan collar hitam yang menempel di leher DOG 01. Leash disambungkan. “Merangkak.”
DOG 01 mulai merangkak di lantai kasar, tangan dan lutut bersentuhan dengan aspal dingin. Kaki Bagas melangkah pelan di samping, memastikan jarak selalu dekat.
“Lihat situasi. Jangan berani angkat kepala. Jangan berani bicara,” perintah Bagas. Suaranya dingin, tanpa cela.
Beberapa mobil lewat, lampu jauh menyapu. DOG 01 merasakan tatapan samar dari dalam kaca jendela mobil yang lewat. Jantungnya berdetak kencang, malu dan takut bercampur. Namun ia tak berani mengeluh.
“Gonggong,” Bagas menyuruh.
Seketika, suara kecil “guk” keluar dari tenggorokan DOG 01, serak dan tertahan.
Bagas tersenyum tipis, “Bagus. Lo mulai belajar apa itu rasa malu yang bener.”
Sesi merangkak berlanjut selama hampir 20 menit, diselingi perintah jongkok, berdiri dengan lutut, bahkan memanjat tangga kecil di ujung parkiran.
Di puncak ujian, Bagas memerintahkan DOG 01 untuk menjilat sepatu kanvas-nya. “Ini tanda lo sepenuhnya milik gue. Jangan pernah lupa.”
DOG 01 dengan malu dan berat hati melakukan perintah itu, lidahnya menyapu permukaan sepatu Bagas. Udara dingin malam tidak membantu menghilangkan rasa panas di pipi dan dada.
Setelah selesai, Bagas melepaskan leash, namun suara terakhirnya tetap mengikat:
“Ini baru ujian awal. Ketaatan lo diuji tiap hari. Di rumah atau di luar. Gue gak peduli lo malu. Lo harus bangga jadi anjing gue.”
Mereka kembali ke mobil. DOG 01 duduk di kursi belakang, lehernya masih terasa berat oleh collar dan rasa malu yang menancap dalam.
Chapter 6: Makanan Anjing
Hari itu Bagas menyiapkan sebuah mangkuk kecil berisi campuran nasi lembek dan remah biskuit yang tidak terlalu menjijikkan, tapi jelas bukan makanan biasa.
“Ini makanan lo sekarang,” kata Bagas dingin. “Jangan harap bisa makan kayak manusia lagi.”
DOG 01 berdiri di sudut kamar, menunduk dalam diam. Ia tahu apa yang akan terjadi.
“Turun. Empat kaki. Makan.”
Ia merangkak ke arah mangkuk, lidahnya mulai menjilat perlahan. Tangan tetap menyentuh lantai, tidak diangkat. Malu membakar pipinya, tapi ia terus melanjutkan.
Setiap kali tubuhnya terangkat sedikit, Bagas menegur keras, “Turun! Lo bukan manusia!”
Hari itu, DOG 01 belajar menerima kenyataan: tubuh dan pikirannya bukan lagi miliknya. Mental conditioning itu perlahan meresap, membentuk ketaatan lebih dalam.
Chapter 7: Training Posisi
Master Bagas berdiri di depan DOG 01, dengan leash terulur di tangan. Ia mengangkat jari telunjuknya.
“Sit!”
Dengan refleks, DOG 01 duduk bersimpuh, tangan di lantai, kepala menunduk.
“Bagus, tapi pantat lo masih terlalu tinggi.”
Bagas menekan leash ke bawah, mengarahkan tubuh DOG 01 agar lebih membungkuk.
“Down!”
DOG 01 berbaring tengkurap, dagu menyentuh lantai, lutut dan tangan melebar.
“Tahan posisi ini sampai gue bilang.”
Satu jam berikutnya, DOG 01 diam tanpa bergerak, mendengarkan napas Master yang tenang.
Setiap kesalahan kecil, cambukan ringan di paha menjadi pengingat. Namun pujian kering dari Bagas membuat DOG 01 terus berusaha.
Pelatihan ini bukan hanya fisik, tapi juga pelajaran pengendalian diri dan kepatuhan tanpa syarat.
Chapter 8: Kontrol Nafsu
Master Bagas memandang lekat DOG 01 yang duduk dengan tubuh membungkuk. “Lo tahu, bagian paling susah jadi anjing bukan cuma tunduk. Tapi tahan nafsu.”
Haryo tahu itu benar. Selama seminggu terakhir, ia sudah merasa tegang berkali-kali. Namun, tanpa izin Bagas, ia tidak boleh menyentuh dirinya. Tidak boleh melepas ikatan yang ada di pikirannya.
Setiap malam, Bagas menyuruhnya merangkak keliling ruangan, meski ereksi mulai terasa tak tertahankan. Tidak ada pelampiasan, hanya tunduk dan tahan.
“Lo bakal belajar: orgasme itu hadiah, bukan hak. Lo dapetin cuma kalau gue kasih izin.”
Hari-hari itu penuh rasa frustasi bercampur hormat. Tapi Bagas selalu memastikan batas aman, memberikan perhatian dan penguatan positif saat DOG 01 berhasil menahan diri.
Chapter 9: First Outdoor Walk
Malam itu, suasana dingin menusuk kulit. Bagas mempersiapkan leash pendek, mengaitkannya ke collar DOG 01.
“Lo siap?” tanyanya dingin.
DOG 01 mengangguk, napasnya bergetar.
Mereka keluar menuju parkiran sepi, hanya lampu jalan yang temaram. Langkah Bagas tegap, sementara DOG 01 merangkak di belakang, tangan dan lutut menyentuh aspal dingin.
“Jangan angkat kepala. Jangan bicara.”
Setiap kali DOG 01 sedikit menengadah, leash ditarik halus, memberi sinyal dominasi.
Lampu mobil dari kejauhan membuat jantung DOG 01 berdegup lebih kencang. Rasa malu dan takut bercampur. Namun ia tetap patuh.
Di satu titik, Bagas berhenti, memerintahkan DOG 01 menjilat sepatu kanvas-nya.
“Apa itu tanda kepemilikan?” tanya Bagas pelan.
“Guk,” jawab DOG 01, berat tapi patuh.
Mereka berjalan kembali ke mobil, tapi malam itu mengukir satu bab baru dalam pelatihan—pelajaran tentang malu, kepatuhan, dan totalitas pengabdian.
Chapter 10: Kandang
Malam itu, Bagas membawa sebuah kandang lipat kecil dari dalam mobilnya. Ukurannya cukup untuk seseorang berlutut dan membungkuk, tidak lebih.
“Masuk,” perintah Bagas.
DOG 01 menunduk, merangkak masuk ke dalam kandang. Ruangan sempit itu membuatnya tak bisa berdiri tegak. Ia duduk bersimpuh, lutut menekan sisi kandang.
Bagas mengunci pintu dengan suara klik yang dingin.
“Lo tidur di sini malam ini,” katanya tanpa emosi. “Gak ada tempat lain.”
DOG 01 menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan napasnya yang memburu. Bau logam dingin, suara malam dari luar terdengar nyaring. Tiada pelukan, tiada kehangatan.
Sepanjang malam, setiap kali DOG 01 bergerak sedikit, suara pintu kandang diketuk pelan sebagai peringatan. Perlahan tubuh dan pikirannya mengerti batas.
Pagi datang. Saat pintu dibuka, DOG 01 merangkak keluar, tubuhnya lelah tapi tunduk.
Bagas menatapnya, “Ini latihan disiplin. Lo harus siap dikurung kapan saja. Lo milik gue, bukan bebas.”
Chapter 11: Ujian Diam
Malam itu, Bagas memandang tajam ke arah DOG 01 yang sudah siap di lantai. “Sekarang, kamu tidak boleh bicara sama sekali. Mulai dari sekarang sampai gue bilang selesai.”
DOG 01 mengangguk pelan, matanya menunduk. Master menyodorkan lakban hitam untuk mulut, lalu menutupnya rapat-rapat.
“Mulai posisi ‘sit’. Kepala tegak, mata tertutup. Gerak sedikit saja, kamu kena hukuman.”
Satu jam penuh DOG 01 duduk diam, tanpa suara, tanpa gerak. Hanya napas pelan yang terdengar. Setiap kali tubuh mulai bergeser, Bagas mengetuk lantai keras sebagai peringatan.
Haryo merasakan pikirannya seperti dikunci, seolah waktu berjalan lambat sekali. Namun pelatihan ini justru menumbuhkan rasa hormat dan kekuatan baru dalam dirinya.
Ketika Bagas melepas lakban, dia berkata dingin, “Good dog. Lo belajar satu hal penting: kontrol itu kunci.”
Chapter 12: Hukuman di Toilet
Suatu malam, saat sedang latihan, DOG 01 tanpa sengaja menatap Master dengan tatapan yang Bagas anggap “terlalu manusiawi.” Sebuah pelanggaran kecil tapi berarti.
Bagas memandang dingin. “Ikut gue.”
Dia menyeret DOG 01 ke kamar mandi. Ruangan kecil dengan lantai keramik dingin yang baru saja ia bersihkan.
“Lidah keluar,” perintah Bagas. “Jilat lantai ini. Mulai sekarang, lo bukan cuma anjing, tapi anjing kotor yang harus bersihkan kotoran.”
DOG 01 menunduk, malu menyala di wajahnya. Dengan gemetar, ia mulai menjilat lantai bersih itu, rasa jijik dan penghinaan membanjiri pikirannya.
Master berdiri memandang dengan penuh kendali. “Jangan pernah lupa, lo milik gue. Setiap kesalahan harus dibayar.”
Setelah beberapa menit, Bagas mengangkat kepala DOG 01. “Udahan.”
DOG 01 berdiri pelan, tubuhnya lemas, tapi di hatinya tumbuh satu pemahaman baru: penyerahan total.
Chapter 13: Hari Tanpa Bahasa
Pagi itu Bagas datang membawa aturan baru.
“Hari ini, lo gak boleh bicara. Gak satu kata pun. Kalau mau komunikasi, gunakan tubuh lo. Gonggongan, geraman, atau isyarat.”
DOG 01 menunduk, menyadari ini tantangan baru.
Sepanjang hari, Master memberi perintah dengan suara datar, sedangkan DOG 01 hanya merespons dengan isyarat tubuh dan suara anjing kecil. Salah respon? Cambuk ringan sebagai pengingat.
Hari yang panjang dan sunyi. Namun di keheningan itu, DOG 01 belajar lebih peka membaca bahasa tubuh Master. Mereka menemukan cara baru berkomunikasi, jauh dari kata-kata manusia yang penuh ego.
Saat malam tiba, Bagas menepuk kepala DOG 01 dan berkata, “Lo berhasil. Kadang, diam itu lebih berbicara.”
Chapter 14: Rebranding Identitas
Malam itu, Bagas membawa sesuatu yang berbeda: sebuah kalung besar dengan label logam bertuliskan “DOG 01 – PROPERTY OF MASTER BAGAS”.
“Lihat ini,” kata Bagas sambil menggantung kalung itu di leher DOG 01. “Ini bukan cuma aksesori. Ini simbol. Identitas baru lo.”
DOG 01 menatap cermin kecil di dinding. Bayangannya berbeda. Bukan lagi manusia biasa, tapi properti—milik—yang jelas tak ada ruang untuk nama lama.
Di sudut ruangan, sebuah papan kayu bertuliskan “PROPERTY OF MASTER BAGAS” digantung di tembok, tepat di atas tempat tidur kecil DOG 01.
“Kalau lo lupa, lo tinggal lihat ini,” ujar Bagas dingin.
Malam itu, saat DOG 01 mencium kaki Master tanpa diperintah, tanpa ekspresi, hanya rasa tunduk yang dalam, Bagas tahu transformasi sudah hampir sempurna.
“Lo bukan anjing yang baik,” bisiknya. “Lo anjing yang sempurna.”
Chapter 15: Penyerahan Total
Malam itu, ruangan gelap hanya diterangi cahaya redup lampu meja. Master Bagas duduk santai, sementara DOG 01 merangkak pelan ke arah kaki Master.
“Cium,” perintah Bagas dingin.
Dengan hati-hati, DOG 01 menunduk, mengusapkan bibirnya ke sepatu Master. Tubuhnya gemetar, tapi hatinya tenang. Itu bukan lagi rasa malu, tapi pengakuan total.
Bagas menepuk kepala DOG 01. “Lo bukan anjing yang baik… Lo anjing yang sempurna.”
DOG 01 menitikkan air mata. Bukan karena sakit, tapi karena ia akhirnya menemukan tempatnya — menjadi milik sejati, tanpa beban identitas lama.
Malam itu mereka berdua tahu: batas antara manusia dan anjing telah hilang. Yang tersisa hanya ikatan, kendali, dan penyerahan total.
please masukin adegan disumpel kaos kaki juga sir🙏🏻
BalasHapusOk, bisa dicek di cerita terbaru
Hapus