Harga Tunduk Seorang Brian

DISCLAIMER:

Cerita ini fiksi dewasa yang menggambarkan relasi kekuasaan berbasis kesepakatan (consensual). Semua adegan dilakukan secara sukarela dan tidak dimaksudkan untuk membenarkan perilaku abusif. Tidak untuk pembaca di bawah usia 18 tahun.


Chapter 1: DM Pertama


Brian menatap layar ponselnya dalam gelap. Hanya cahaya dari layar Twitter yang menerangi wajahnya. Ia baru saja pulang kerja, tubuh lelah, tapi pikirannya terus berisik—dengan dorongan yang selama ini tak pernah benar-benar ia akui.

Usianya 28 tahun. Kerja kantoran. Hidup teratur. Tabungan aman. Tapi... kosong.

Di explore Twitter, ia menemukan akun yang menggugah rasa yang telah lama ia tekan. Akun itu milik seseorang bernama Master Yoga—dom yang tenang, dingin, dan percaya diri. Isinya sederhana: foto sepatu kulit menginjak uang, potret kopi pagi hasil “upeti slave”, dan caption seperti:

“Lo kerja, gua nikmatin hasilnya. Itu baru hidup yang adil.”

Brian membacanya berulang kali. Ada yang tergerak di dalam. Sebuah rasa ingin menyerah. Bukan karena lemah, tapi karena ia haus dikendalikan.

Dengan tangan sedikit gemetar, Brian mengetik:

“Saya ingin tunduk secara finansial. Bisa saya coba jadi objek Anda, Master?”

Lalu ia ragu. Tapi sebelum bisa menghapusnya, ia sudah menekan Send.

Menit berlalu. Degup jantung makin kencang. Lalu notifikasi muncul.

Balasan dari Master Yoga.

“Kirim bukti penghasilan. Baru kita bicara.”

Tanpa basa-basi. Tanpa rayuan. Langsung menusuk ke inti.

Brian membaca ulang kalimat itu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sedang berdiri di depan pintu dunia yang selama ini hanya ia impikan diam-diam.

Ia tahu, jika ia kirim slip gaji malam itu… hidupnya tak akan sama lagi.

Dan diam-diam, itulah yang ia inginkan.


Chapter 2: Tunjukkan Nilaimu


Brian tak tidur malam itu.

Kepalanya penuh dengan kalimat pendek dari Master Yoga:

“Kirim bukti penghasilan. Baru kita bicara.”

Tegas. Ringkas. Tapi mengguncang sampai ke dasar.
Baginya, itu bukan permintaan. Itu ujian pertama.

Pagi harinya, sebelum berangkat kerja, ia duduk di meja makan, membuka aplikasi slip gaji elektronik dari kantornya, dan mengunduh file PDF bulan terakhir. Angka di sana cukup stabil—sekitar sepuluh juta sebulan. Cukup untuk hidup sendiri dengan nyaman.

Tapi sekarang kenyamanan itu bukan lagi hal utama.
Yang ia cari... justru kendali yang merampas kenyamanan itu.

Ia kirim file tersebut lewat DM.

Beberapa menit kemudian, balasan datang.

“Gaji segini, hidup segitu-segitu aja. Transfer 300 ribu sekarang. Sebagai uang sujud awal.”

Tanpa tanya “kenapa”, tanpa “untuk apa”, jari-jarinya otomatis membuka m-banking.

Transfer dilakukan ke rekening atas nama yang asing baginya. Tapi justru itu membuatnya merasa lebih kecil. Lebih rendah. Lebih… seperti milik seseorang.

Screenshot bukti transfer dikirim.

Balasan masuk.

“Bagus. Lo kerja buat siapa, Brian? Buat hidup lo sendiri, atau buat nyenengin gua?”

Ia membaca ulang kalimat itu. Dan sesuatu di dalam dirinya runtuh pelan-pelan.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ada seseorang yang tak memintanya merasa aman atau nyaman. Tapi justru menuntut nilai dari kerja kerasnya... dan menukar nilainya dengan rasa milik.

Dan entah kenapa, itu terasa sangat… benar.

Malamnya, Brian tak membuka aplikasi belanja.
Ia hanya memandangi saldo rekeningnya yang berkurang.
Lalu tersenyum kecil—bukan karena kehilangan uang.

Tapi karena, akhirnya, hidupnya mulai berubah arah.


Chapter 3: Dihargai Sebagai Dompet


Jumat pagi.

Sebelum berangkat kerja, Brian sudah menunggu notifikasi dari Master Yoga. Setelah dua hari tanpa kabar, pikirannya penuh tanda tanya: Apakah ini sudah berakhir? Apakah Master tidak tertarik lagi?

Tapi pukul 06.37, pesan masuk.

“Mulai minggu ini, lo bayar pajak budak. 10% dari gaji, tiap Jumat. Gua mastiin uang lo punya arti.”

Brian membaca ulang kalimat itu.

Bukan permintaan. Bukan tawaran. Perintah.

Tangan gemetar tapi sigap membuka m-banking. Ia menghitung 10% dari gajinya bulan ini—Rp1.000.000. Jumlah yang cukup terasa. Tapi otaknya tak lagi melawan. Ada semacam kebutuhan untuk tunduk. Untuk mengorbankan. Untuk membayar.

Transfer selesai.

Ia kirim bukti transfer tanpa diminta. Menit kemudian, Master Yoga membalas:

“Lo baru aja bayar iuran eksistensi. Hidup lo sekarang punya tujuan: ngasih manfaat buat Tuan lo.”

Brian menggigit bibir. Ada rasa malu... tapi juga bangga. Karena hari itu, ia bekerja bukan hanya untuk dirinya.

Tiap ketikan laporan. Tiap rapat. Tiap napas yang ia ambil di kantor.
Semuanya terasa... berguna. Karena dia tahu, sebagian dari hasilnya akan jadi milik seseorang yang lebih tinggi darinya.

Seseorang yang melihat dirinya bukan sebagai manusia, tapi dompet.

Dan anehnya, itu membuatnya merasa lebih nyata dari sebelumnya.


Chapter 4: Kalimat yang Menghancurkan


Sabtu malam. Brian sedang sendiri di kamar.

Lampu temaram. Pintu terkunci. Ponsel di tangan.
Pikirannya sibuk memutar ulang semua yang terjadi minggu ini: transfer pertama, perintah pajak budak, dan perasaan lelah yang tiba-tiba terasa... nikmat.

Lalu masuk voice note dari Master Yoga. Suaranya rendah, dalam, dingin. Hanya beberapa detik, tapi kalimatnya menghantam tepat di dada:

“Lo itu cuma dompet yang bisa dikontrol lewat kata. Gua nggak butuh lo. Tapi lo butuh gua.”

Brian diam. Tak bergerak. Rasanya seperti disentil tepat di pusat egonya. Kalimat itu tak sekadar penghinaan—itu pengingat bahwa eksistensinya bisa diringkas hanya sebagai objek.

Bersamaan dengan voice note, Master mengirim perintah:

“Ulangi kalimat gua itu 50 kali. Rekam suaramu. Kirim semua.”

Brian sempat terpaku. Malu. Ragu. Tapi perintah adalah perintah.

Dengan suara pelan dan patah-patah, ia mulai merekam:

“Saya cuma dompet yang dikontrol lewat kata... Saya nggak berguna... Saya butuh Master...”

Lalu diulang. Lagi. Dan lagi. Sampai ke-50.

Di tengah-tengah pengulangan, suaranya mulai pecah. Beberapa kali ia berhenti karena merasa sesak. Tapi ia tetap lanjut. Karena rasa malu itu... adalah bukti bahwa ia sedang dibentuk ulang.

Setelah semua dikirim, tak ada balasan langsung.

Tapi malam itu, saat ia memejamkan mata, isi kepalanya hanya satu suara:

“Gua nggak butuh lo. Tapi lo butuh gua.”

Dan di dalam hati, Brian tahu... itu bukan penghinaan.
Itu adalah bentuk cinta terdingin yang pernah ia terima.


Chapter 5: Ritual Worship Harian


Pagi hari, sebelum matahari muncul sempurna, ponsel Brian bergetar.
Pesan dari Master Yoga masuk:

“Mulai hari ini, lo punya 3 kewajiban harian. Gagal sekali, lo nggak layak jadi budak gua lagi.”

Brian membaca perlahan. Tiap kata serasa kontrak yang tak bisa dinegosiasikan.

Perintah harian dari Master:

  1. Ucapan pagi:
    “Selamat pagi, Tuan. Hari ini saya kerja buat bikin Master senyum.”
    Dikirim sebelum pukul 07.00.

  2. Laporan pengeluaran:
    Tiap malam, sebelum tidur, Brian wajib mengirim laporan keuangan hariannya. Tiap transaksi, sekecil apa pun, harus dilaporkan.

  3. Izin belanja:
    Tak ada satu pun pengeluaran boleh dilakukan tanpa izin Master. Bahkan untuk makan siang, beli sabun, atau bayar parkir.

Brian membalas dengan singkat:

“Siap, Tuan. Saya akan patuh.”

Hari pertama, ia bangun lebih pagi. Menyusun kalimat sapaan dengan jantung berdegup cepat. Setelah mengirim pesan, ia merasa seperti anak sekolah yang takut dihukum. Tapi ada rasa keterikatan yang tumbuh. Seperti ada seseorang yang akhirnya benar-benar memperhatikan hidupnya… walau dengan cara yang menghancurkan harga diri.

Di malam hari, setelah makan, ia duduk dan mulai menyalin semua pengeluaran hari itu ke chat.

“Pukul 12.35 – Makan siang Rp24.000 (sudah minta izin).”
“Pukul 18.45 – Beli sabun Rp8.500 (izin belum dijawab, saya salah, mohon hukuman).”

Balasan Master hanya satu kalimat:

“Besok puasa belanja. Lo belajar ngerti kalau tubuh lo, waktu lo, dan uang lo… bukan milik lo lagi.”

Brian tersenyum kecil.

Perlahan-lahan, ritual ini bukan sekadar tugas.
Ini jadi bentuk ibadah.
Bukan pada Tuhan... tapi pada seseorang yang berdiri jauh di atasnya.
Seseorang yang kini mengatur detak hidupnya dengan dingin dan kejam—dan justru karena itu, membuatnya merasa... dimiliki.


Chapter 6: Penghinaan Digital


Minggu siang. Brian sedang berbaring, menatap layar ponsel dengan perasaan kosong. Hari libur biasanya ia isi dengan belanja kecil atau jalan ke kafe. Tapi sekarang, setiap pengeluaran harus disetujui. Bahkan untuk beli kopi sachet pun, ia harus menunggu balasan dari satu orang: Master Yoga.

Notifikasi muncul.

Instagram—close friends story dari Master. Brian langsung membuka.

Gambar pertama: sebuah slip gaji. Angka di situ jelas—Rp10.000.000. Tapi nama dan NIP disensor.

Caption-nya singkat:

“Segini doang penghasilan budak gua. Pantas dia layak diinjak.”

Brian langsung mengenalinya. Itu slip gajinya.
Master mengunggahnya ke story close friends—tempat hanya circle tertutup yang bisa lihat.

Tidak ada namanya. Tidak ada wajah. Tapi itu cukup membuat wajahnya panas.

Ia menggenggam ponsel kuat-kuat. Antara malu, takut, dan… terangsang secara emosional.

Beberapa detik kemudian, Master mengirim chat pribadi:

“Rasain. Malu? Bagus. Artinya lo sadar lo nggak lebih dari angka yang gua izinkan untuk gua pakai.”

“Lo bukan manusia. Lo simbol kegagalan yang bisa gua ubah jadi alat hiburan.”

Brian membaca perlahan. Nafasnya berat. Ia hampir ingin membalas, hampir ingin protes. Tapi jari-jarinya hanya mengetik satu hal:

“Terima kasih sudah mempermalukan saya, Tuan. Saya memang pantas diinjak.”

Tidak ada balasan.

Namun Brian tahu, di balik layar, Master Yoga sedang tersenyum dingin—sama seperti senyum kecil yang akhirnya muncul di wajah Brian.

Karena dengan setiap penghinaan, ia semakin jauh dari kendali dirinya sendiri.
Dan semakin dalam tenggelam dalam rasa milik.


Chapter 7: Dog Wallet Challenge


Senin sore. Hari kerja berjalan lambat. Brian merasa letih secara fisik, tapi pikirannya terus berputar menunggu—bukan pada deadline kerja, tapi pada perintah harian dari Master Yoga.

Tepat pukul 17.01, pesan masuk:

“Dog Wallet Challenge dimulai sekarang. Lo beliin gua sesuatu online. Jangan nanya harga. Pilih aja sesuai takaran rasa malu lo.”

“Setelah checkout, push-up 50x, rekam. Terakhir, ucapkan: ‘Terima kasih udah izinin saya bayar hidup Tuan.’ Kirim semua.”

Jantung Brian berdegup kencang. Ia langsung membuka aplikasi e-commerce, melihat barang-barang di daftar keinginan Master yang pernah ia simpan. Ia memilih kemeja linen mahal—nyaris setara setengah sisa gaji bulanan.

Checkout. Transfer selesai.

Rasa perih muncul saat angka saldo berubah drastis.

Tanpa tunggu lebih lama, ia pasang kamera, membuka kaus, dan mulai push-up di lantai kamar.

Satu, dua, tiga…

Tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena fisik, tapi karena beban mental dari rasa “dibeli untuk tidak punya kontrol”.

Selesai 50, ia berdiri, napas tersengal, lalu menatap kamera.

“Terima kasih… udah izinin saya… bayar hidup Tuan…”

Setelah dikirim semua video, balasan Master hanya satu foto:
Barang yang ia beli… sudah masuk keranjang Master.
Caption: “Gua makin nyaman. Lo makin miskin. Dunia jadi lebih seimbang.”

Brian menutup mata. Ada air yang keluar pelan dari ujungnya.

Tapi bukan air sedih. Itu air kehilangan ego.

Ia baru saja menyerahkan bukan cuma uang… tapi tubuh, waktu, dan harga dirinya—semua untuk satu hal:

Untuk membuktikan, bahwa ia lebih berguna sebagai dompet yang patuh… daripada manusia yang bebas.


Chapter 8: Weekend Tanpa Hak


Jumat malam. Brian baru saja mengirim “pajak budak” mingguan.
Transfer Rp1.000.000 berjalan mulus seperti biasa. Tapi malam itu, Master Yoga tidak hanya menerima.

Ia menetapkan aturan baru.

“Mulai besok, weekend lo bukan milik lo. Dari Sabtu pagi sampai Minggu malam, semua pengeluaran harus pakai izin gua. Bahkan buat beli nasi.”

“Kalau lo lapar, lo minta. Kalau lo haus, lo minta. Lo bukan manusia. Lo dompet gua.”

Brian membaca pesan itu sambil menelan ludah. Batasan ini terasa... brutal. Tapi juga tepat sasaran. Kontrol yang menyusup ke kehidupan nyata, bukan sekadar ruang chat.

Sabtu pagi, jam 9, Brian merasa lapar. Biasanya ia langsung memesan makanan online. Tapi sekarang—dia harus mengetik dulu.

“Tuan, saya lapar. Mohon izin untuk beli makan.”

Balasan tak langsung datang.

Tiga puluh menit. Satu jam. Perutnya mulai keroncongan.

Akhirnya, balasan masuk.

“Sujud. Kirim foto. Baru gua izinin.”

Tanpa pikir panjang, Brian gelar sajadah, menunduk tanpa baju, dan mengambil foto dirinya sujud di lantai dengan caption:

“Saya bukan pemilik tubuh ini. Saya hanya pengguna, atas izin Tuan.”

Balasan masuk cepat.

“Boleh beli mi instan. Jangan lauk.”

Ia langsung beli. Makan dengan tenang. Tapi perasaan dalam dirinya bukan lagi tentang kenyang.

Melainkan rasa tunduk... yang kini sudah tak perlu dipaksakan.

Minggu sore, saat teman-temannya mengunggah foto-foto di kafe dan bioskop, Brian hanya duduk di kamar, menulis laporan keuangan hari kedua. Di bawahnya, ia tambahkan catatan:

“Terima kasih sudah mengambil hak akhir pekan saya, Tuan. Rasanya nikmat menjadi kecil.”

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa weekend-nya... tidak sia-sia.


Chapter 9: Gaji Tanpa Kendali


Hari Senin datang. Brian membuka laptop di kantor, tapi pikirannya tak fokus ke pekerjaan. Setiap notifikasi yang masuk membuatnya gelisah, berharap salah satunya datang dari satu-satunya orang yang kini mengendalikan alur hidupnya: Master Yoga.

Pukul 10.13, pesan itu akhirnya masuk.

“Transfer mingguan udah jadi kebiasaan. Tapi itu belum cukup. Lo masih terlalu bebas.”

“Mulai bulan depan, 30% gaji lo masuk ke e-wallet yang gua kontrol langsung. Lo nggak bisa tarik, lo nggak bisa pakai. Gua yang tentuin kapan boleh keluar.”

Brian menatap layar. Detak jantungnya berubah ritme.

Itu bukan lagi sekadar perintah—itu penyerahan permanen.
Pengambilan otoritas.
Pemutusan hak atas sumber daya pribadi.

“Setiap lo kerja, setiap lo lembur, setiap lo naik pangkat—itu bukan buat lo lagi. Tapi buat nambah isi dompet gua.”

“Setuju atau lepasin semuanya sekarang.”

Brian membaca ulang berkali-kali.

Lalu ia membalas hanya satu kalimat:

“Saya setuju. Mohon Tuan atur hidup saya sepenuhnya.”

Hari itu, Brian membuat dompet digital baru, dengan otorisasi terbatas. Email dan password diserahkan. Limit transaksi ditetapkan oleh Master.

Dan saat gajian tiba, 30% langsung masuk ke sana. Tak bisa disentuh, kecuali atas izin.

Master hanya membalas:

“Mulai sekarang, tiap angka yang lo hasilkan jadi milik gua. Lo kerja, gua nikmatin. Dunia jadi masuk akal.”

Malam harinya, Brian memandangi saldo yang tak lagi bisa ia akses. Tapi bukannya panik, ia justru merasa ringan.

Ia tak lagi memiliki uangnya.

Tapi justru karena itu… ia merasa akhirnya dimiliki sepenuhnya.


Chapter 10: Diinjak dan Dihargai


Tiga bulan berlalu sejak DM pertama itu.

Rutinitas Brian berubah total. Ucapan pagi. Laporan keuangan. Transfer mingguan. Pengeluaran terkendali. Kontrol Master menyusup ke detail terkecil hidupnya—dari apa yang ia beli, kapan ia makan, hingga bagaimana ia menilai dirinya sendiri.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Master mengirim lokasi.

“Besok. Parkiran kosong. Jam 7 malam. Gua izinin lo ketemu. Tapi lo datang bukan sebagai manusia. Lo datang sebagai budak.”

Jantung Brian berdegup tak karuan.

Ia datang lebih awal. Parkiran itu sepi. Lampu-lampu redup. Tak ada suara selain langkah sepatu Master yang akhirnya mendekat. Sosok yang selama ini hanya ia kenal dari kata-kata… kini berdiri di depannya, nyata, berwibawa, dan tak tergoyahkan.

Tanpa aba-aba, Brian berlutut. Matanya langsung menunduk.

Master hanya bicara singkat:

“Lo tau apa arti semua transfer yang udah lo kirim?”

“Itu bukan cuma uang. Itu lambang harga diri yang lo relakan. Dan sekarang, gua bayarin kembali dengan hak gua untuk nginjek lo.”

Sepatu hitam milik Master menginjak kepala Brian perlahan. Tak dengan kekerasan, tapi dengan tekanan cukup untuk menegaskan dominasi.

“Setiap lembar yang lo transfer, gua ubah jadi kekuatan buat injak harga diri lo.”

Brian menahan napas. Bukan karena sakit. Tapi karena rasa lega.

Sepatu itu... bukan sekadar alas kaki. Itu mahkota yang menutup kepala seseorang yang sudah selesai menjadi siapa-siapa.

Ia mencium sepatu itu dengan gemetar.

“Terima kasih, Tuan. Karena sudah menjadikan saya milik yang berguna.”

Malam itu, di parkiran sunyi, tak ada saksi. Hanya satu pria yang menyerahkan segalanya… dan satu pria yang mengambil alih semuanya.

Dan dari tempat terendahnya, Brian akhirnya merasa:
dipakai. dikontrol. dimiliki.
Tapi justru karena itu... ia utuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI BAWAH KAWALANKU

Anjing Milik Bagas