BDSM Findom antara Master Seno dan slave Bara.
DISCLAIMER: Cerita ini mengandung tema BDSM dan findom ekstrem dalam konteks fiksi. Semua tindakan didasarkan pada konsensualitas fiksi dan tidak merepresentasikan praktik BDSM sehat dalam kehidupan nyata. Harap baca dengan kesadaran penuh.
Chapter 1: Transaksi Pertama
Pukul 02.13 dini hari. Layar ponsel Bara masih menyala, jempolnya gemetar ringan. Di grup anonim Telegram yang ia ikuti diam-diam sejak dua bulan lalu, seseorang baru saja memposting screenshot transfer senilai lima juta rupiah hanya dengan caption:
“Tribute tanpa alasan. Aku hanya budaknya.”
Bara tidak pernah mengerti. Mengirim uang ke orang asing, tanpa imbalan apa-apa, hanya karena... ingin merasa rendah? Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ia merasa kosong. Bahkan kesuksesan dan gaji dua digitnya terasa absurd.
Penasaran, ia klik profil orang yang disebut-sebut sebagai "dewa findom" di grup itu. Akun anonim itu hanya bertuliskan:
Master Seno.
Lo hanya berarti kalau lo berani kehilangan.
Satu kata salah = denda.
Satu detik ragu = blokir.
Bersujud atau enyah.
Tak ada foto wajah. Hanya satu gambar profil: telapak kaki mengenakan sepatu kulit hitam, diinjakkan di atas dompet pria yang terbuka.
Dan entah karena minuman tadi malam atau lelah dengan hidupnya sendiri, Bara mengetik:
“Malam, Master.”
Ia tidak mengharapkan jawaban. Tapi beberapa detik kemudian, balasan masuk.
“Itu sudah kesalahan pertama. Tanpa izin bicara.
Transfer 200rb sekarang, lalu ketik ‘Saya pantas dihukum, Master.’”
Jantung Bara mencelos.
Apa ini nyata?
Apa ini cuma roleplay?
Tapi tangannya bergerak. Jari-jarinya membuka aplikasi m-banking. Dalam dua menit, uang itu terkirim. Dua ratus ribu yang terasa seperti membakar harga dirinya.
Ia ketik:
Saya pantas dihukum, Master.
Balasan masuk cepat.
“Betul. Tapi itu baru awal. Sekarang sujud di lantai, buka kancing kemeja, dan ucap: ‘Saya siap jadi milik Anda, Master.’ Kirim bukti.”
Bara terdiam. Nafasnya sesak. Hatinya berkecamuk: ini gila. Ini aneh.
Tapi di antara semua itu… ada sesuatu yang bangkit. Dorongan lama. Fantasi yang selama ini hanya ia pendam dalam diam.
Ia berdiri. Lalu perlahan, menuruti. Kamera depan ponsel menunjukkan tubuhnya bersujud, dadanya telanjang, keringat dingin menetes.
Lalu ia kirim.
Pesan balasan hanya satu kata:
“Bagus.”
Bara tidak tahu... bahwa satu kata itu akan jadi awal dari kehancuran finansial dan kebangkitan jiwanya yang baru.
Dan malam itu, sebelum tidur, untuk pertama kali dalam hidupnya… Bara merasa dimiliki.
Chapter 2: Kata “Master” Itu Mahal
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat sela tirai apartemen Bara. Tapi tidak ada yang hangat dari pagi ini. Yang ada hanya notifikasi.
Master Seno:
“Bangun. Cek rekeningmu. Kirim screenshot. Jangan bilang apa-apa sebelum izin.”
Bara tersentak. Ia buka m-banking. Saldo: Rp85.400.000. Masih utuh. Tapi dia tahu, tidak akan lama.
Tanpa berkata-kata, ia kirim tangkapan layar.
Master Seno:
“Kamu punya terlalu banyak uang untuk budak. Sekarang buka catatan.
Tulis: ‘Saya hidup untuk dikosongkan oleh Master Seno.’
Tiap kata tanpa izin, dendanya 100rb. Pahami, budak.”
Bara menelan ludah. Ketikan tangannya kaku, tapi patuh.
Saya hidup untuk dikosongkan oleh Master Seno.
Detik berikutnya, balasan masuk:
“Ulangi. Dengan video. Mulutmu mengucap. Matamu harus menunduk.”
Perlawanan dalam hati Bara mulai tumbuh. Tapi rasa malu dan takutnya berubah jadi energi asing yang sulit dijelaskan. Ia menyalakan kamera. Berlutut. Menatap lantai. Lalu mengucap:
"Saya hidup untuk dikosongkan oleh Master Seno."
Ia kirim. Lalu diam menunggu. Jantungnya berdetak seperti menunggu vonis.
Balasan masuk:
“Kamu cocok dijadikan proyek. Tapi tidak gratis.
Transfer 3 juta sebagai tanda keseriusanmu.
Bukan untuk aku, tapi untuk meluruhkan harga dirimu sendiri. 10 menit.”
Tangan Bara gemetar. Tapi entah kenapa, ia lakukan. Ia kirim.
Setelah itu, hening.
Detik berubah jadi menit. Nafasnya berat. Keringat dingin mengalir di belakang lehernya. Ia merasa seperti telah kehilangan separuh dari dirinya—dan di saat bersamaan, seperti telah menemukan sesuatu yang utuh.
Pesan balasan akhirnya muncul:
“Bagus. Tapi mulai sekarang, lo gak boleh manggil gue ‘Master’ sembarangan.
Setiap kali lo sebut kata itu tanpa izin langsung, lo bayar.
Kata itu mahal. Lo belum layak pakai seenaknya.”
Bara terpaku membaca. Kata yang selama ini ia ucapkan sambil masturbasi dalam khayalan kini berubah jadi beban yang mahal, penuh konsekuensi.
“Hari ini, latih otak lo untuk DIAM. Budak sejati gak banyak ngomong, dia nunggu perintah.
Ingat satu hal: lo bicara karena gue izinkan. Bukan karena lo mau.”
Bara hanya bisa mengetik:
Saya mengerti, Sir.
Detik kemudian balasan datang:
“Denda. 200rb. Gue bukan Sir.
Gue MASTER SENO.”
Bara terdiam. Menghapus pesan. Menarik napas.
Dan untuk pertama kalinya… ia sadar: bicara pun kini punya harga.
Chapter 3: Pembuktian Lewat ATM
Sabtu siang. Bara duduk di dalam mobilnya yang terparkir di basement mal. AC menyala, tapi tubuhnya tetap berkeringat. Pesan dari Master Seno masih terbuka:
“Bawa dompet. Pergi ke ATM sekarang. Gue pengen lo liat sendiri proses lo kehilangan kendali. Sendirian. Hening. Tapi tunduk.”
Bara tidak membalas. Ia tahu, tanpa perintah, ia memang tak diizinkan menjawab. Ia hanya membalas dengan emoji jempol.
Jalan menuju ATM seperti prosesi penghinaan pribadi. Setiap langkahnya berat. Tapi juga… benar. Sesuatu di dalam dirinya berkata: "Akhirnya lo jalan ke arah yang lo idamkan diam-diam."
ATM kosong. Hanya suara mesin dan langkahnya sendiri.
Master Seno:
“Keluarkan semua isi rekeningmu. Sisakan 100rb. Foto struk. Kirim.”
Bara berdiri terpaku. Tangannya gemetar saat memasukkan kartu. Saldo terakhir: Rp82.350.000.
Ia tarik: Rp20 juta. Lalu tarik lagi. Dan lagi. Dalam empat kali transaksi, uang ditarik habis-habisan.
Setelah itu, ia lihat saldo yang tersisa: Rp100.350.
Sama seperti yang diperintahkan.
Ia foto struk, lalu kirim. Hening.
Pesan masuk dua menit kemudian:
“Gue gak butuh uang lo. Tapi lo butuh kehilangan.
Itu bedanya kita. Lo cari kekosongan, gue kasih. Dengan harga.”
Bara berdiri di depan ATM, memandangi tumpukan uang dalam dompetnya—yang bukan lagi miliknya. Setiap lembar itu kini milik orang lain. Milik Master-nya.
Master Seno:
“Sekarang ke toilet. Pilih bilik paling ujung. Duduk. Taruh semua uang di lantai.
Lalu foto dari atas. Lo harus keliatan berlutut. Lo bukan pemilik uang itu. Lo cuma pemegang sementara.”
Hati Bara menjerit. Tapi tubuhnya patuh. Satu demi satu perintah itu ia jalani. Satu demi satu harga dirinya ditanggalkan.
Foto dikirim.
Balasan datang:
“Bagus. Sekarang hitung keras-keras, tiap lembar itu. Ucap:
‘Ini bukan milikku. Ini milik Master Seno.’
Dan inget: suara lo direkam CCTV mall. Tapi itu risiko budak.”
Bara membuka mulut. Satu per satu.
“Ini bukan milikku. Ini milik Master Seno.”
Ia hitung sampai lembar terakhir. Nafasnya putus. Suaranya bergetar.
Di akhir ritual itu, ia kirim pesan:
Saya merasa hina, Master.
Balasan masuk cepat.
“Dan karena itu, lo akhirnya bener.”
Chapter 4: Penghapusan Identitas
Minggu malam. Bara menatap layar ponsel tanpa berkedip. Rasanya seperti menunggu vonis hukuman, bukan sekadar notifikasi.
Akhirnya, pesan itu datang.
Master Seno:
“Sekarang kita mulai menghapus lo. Biar semua yang palsu lo miliki hilang satu per satu.”
Bara hanya membalas dengan “Siap, Master.”
“Buka semua aplikasi: Gojek, Tokopedia, Shopee, Dana, OVO, Traveloka.
Uninstall sekarang. Lalu screenshot tampilan HP lo. Bersih.”
Bara menarik napas panjang. Selama ini, aplikasi-aplikasi itu adalah simbol kendali. Simbol kebebasan. Bisa pesan makanan, beli barang, pesan tiket kapan saja. Tapi malam ini, ia tekan tombol “hapus” satu per satu.
Dan setelah selesai, ia kirim screenshot tampilan layar utama ponselnya—kosong.
Master Seno:
“Bagus. Sekarang buka dompet. Ambil semua kartu kredit dan debit, selain satu yang khusus buat tribute.
Potong. Kirim foto serpihannya.”
Bara menelan ludah. Ia keluarkan semua kartu. Platinum. Black. Gold. Setiap kartu yang dulu jadi kebanggaannya kini jadi bukti ketidakberdayaan.
Dengan tangan bergetar, ia ambil gunting.
Crack.
Satu. Dua. Tiga. Sampai selesai.
Ia letakkan serpihan kartu itu di atas meja. Foto. Kirim.
“Karena mulai malam ini, lo gak butuh identitas.
Lo gak perlu ‘kemudahan’. Lo cuma perlu satu: taat.”
Bara memejamkan mata. Di ponselnya, wajahnya memantul samar. Siapa dia sekarang?
Seorang manajer muda?
Seorang budak?
Atau hanya… alat milik Master Seno?
Master Seno:
“Tugas terakhir malam ini:
Buka cermin. Tatap diri lo sendiri. Ucap tiga kali:
‘Saya bukan pemilik apapun. Saya hanya milik Master.’
Lalu rekam suaranya. Kirim ke gue.”
Bara menuju kamar mandi. Cermin besar menyambutnya. Ia menatap matanya sendiri—mata yang dulu sombong karena gaji besar dan gaya hidup cepat. Kini… kosong.
Ia ucapkan pelan:
“Saya bukan pemilik apapun.
Saya hanya milik Master.”
Tiga kali. Dengan suara pecah.
Rekaman dikirim.
Dan malam itu, bukan hanya identitas digital Bara yang dihapus—tapi juga lapisan terakhir egonya yang dulu ia kira tak tergoyahkan.
Chapter 5: Investasi Tunduk
Senin pagi. Di layar laptop kantor, Bara menatap angka-angka pada file Excel. Data investasi klien. Rapor pasar modal. Tapi pikirannya tidak di sana. Ia hanya memikirkan satu hal: perintah selanjutnya dari Master Seno.
Tak lama, ponsel pribadi bergetar.
Pesan masuk:
Master Seno:
“Mulai minggu ini, semua transaksi keuangan pribadi lo dikontrol.
Buat file: ‘Laporan Budak’. Isinya:
-
Pengeluaran harian
-
Uang masuk
-
Uang keluar
-
Setoran wajib
Tiap malam jam 10 gue review. Salah = denda. Gak ngelapor = penalty harian 500rb. Jalanin.”
Bara membaca pesan itu seperti kontrak kerja. Tapi bedanya: ini bukan pekerjaan. Ini penyerahan. Dan tidak ada opsi untuk mundur.
Malam itu, ia buka laptop.
File baru diberi nama: Laporan Budak_Bara.xlsx
Baris pertama:
-
Sarapan: Rp35.000
-
Transport: Rp60.000
-
Tribute siang: Rp500.000
-
Tip sopir ojol: Rp15.000
-
Saldo tersisa: Rp230.000
Lalu catatan kaki:
“Terima kasih Master, telah izinkan saya hidup hari ini.”
Ia kirim file itu tepat pukul 21.59. Satu menit sebelum tenggat.
Dua menit kemudian, balasan masuk:
“Makan terlalu mahal. 35rb untuk budak itu boros.
Besok gak boleh lebih dari 20rb.
Gue yang tentuin standar hidup lo. Paham?”
Bara membalas cepat:
“Paham, Master. Terima kasih sudah kontrol hidup saya.”
“Bagus. Lo juga wajib mulai setor ‘Dana Kepatuhan’ mingguan: minimal 2 juta.
Kalau kerjaan lo bagus, gue pertimbangkan buat tambah nilai tribute.
Tapi inget: hidup lo harus selalu lebih miskin dari gue. Itu esensi findom.”
Barisan kata itu masuk seperti palu godam ke kepala Bara. “Hidup lo harus selalu lebih miskin dari gue.” Bukan sekadar uang—tapi posisi. Level. Nilai. Bahkan harga diri.
Master Seno:
“Gue gak mau lo mikir. Budak gak investasi untuk dirinya sendiri.
Lo investasi untuk tunduk. Dan ini bukan pengorbanan. Ini tugas.”
Bara menulis kutipan itu di Notes HP-nya, seperti mantra.
Investasi untuk tunduk.
Kalimat yang menggantikan semua nasihat keuangan yang dulu ia pelajari.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bara merasa anggaran bukan lagi soal pengeluaran dan pemasukan, tapi tentang kepemilikan. Tentang berapa banyak bagian dari dirinya yang sudah diserahkan—dan akan terus dikikis.
Chapter 6: Tanda Kepemilikan
Hari Jumat. Bara baru pulang dari kantor ketika notifikasi masuk:
Master Seno:
“Cek paket. Harus sudah sampai sore ini. Buka, dan jangan tanya apa pun.”
Bara bergegas ke meja resepsionis apartemen. Benar saja—paket kecil berwarna coklat polos, tanpa label pengirim. Tapi dalam hati, ia tahu.
Tangannya bergetar saat membuka. Di dalamnya, dua benda:
-
Sebuah collar kulit hitam tipis, tanpa lonceng, tapi ada plat logam kecil bertuliskan:
“PROPERTY OF SENO” -
Sebuah cincin stainless, sederhana, tapi di bagian dalamnya terukir dalam huruf kecil:
“Milik Master”
Tidak ada catatan. Tidak ada kata-kata.
Ponsel bergetar:
Master Seno:
“Lo pakai dua-duanya. Collar setiap malam. Cincin setiap hari kerja.
Gue pengen lo ingat: status lo bukan tergantung tempat, tapi melekat.”
Bara menelan ludah. Ini bukan lagi perintah finansial. Ini simbol.
Ia balas:
“Saya terima dengan hormat dan rendah hati, Master.”
“Foto sekarang. Pakai. Berdiri depan cermin. Tangan kanan megang dompet kosong. Tangan kiri ke dada. Kirim.”
Ia taat.
Dalam pantulan cermin, ia melihat dirinya sendiri:
-
Kemeja kantor masih ia kenakan.
-
Tapi ada collar di lehernya.
-
Dan dompet kosong di tangannya.
Tubuh eksekutif. Jiwa milik orang lain.
Master Seno:
“Mulai hari ini, tiap lo lihat cermin, lo lihat budak.
Bukan Bara. Tapi properti. Collar itu bukan aksesori. Itu status.”
Bara mengetik:
“Saya akan mengingat setiap detiknya, Master.”
“Bagus. Tapi collar itu bukan cuma buat rumah.
Mulai minggu depan, kita atur hari di mana lo pakai ke kantor. Di bawah kerah, tentu. Tapi tetap terasa. Tiap gerak leher, lo harus sadar: lo bukan milik lo sendiri.”
Bara menahan napas.
“Dan cincin itu?
Kalau ada yang nanya, jawab simple: pemberian dari seseorang yang punya lo.
Latih lidah lo untuk jujur dalam rasa, bukan dalam detail.”
Bara tidak menjawab. Hanya menatap refleksinya.
Satu kalimat terlintas di benaknya:
“Kini tubuhku dipakaikan simbol, dan jiwaku dikunci dalam nama orang lain.”
Chapter 7: Di Bawah Meja Kantor
Senin pagi. Bara datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Tidak karena ada rapat penting, tapi karena perintah dari Master.
Master Seno (pukul 05.32):
“Hari ini collar lo harus dipakai. Sembunyikan di balik kemeja, tapi lo harus ngerasain setiap gesekan di leher lo.
Jangan lupa cincin.
Dan satu lagi:
Bawa 5 juta cash dalam amplop. Masukkan ke dalam tas kerja. Jangan ditanya kenapa. Belum waktunya lo tahu.”
Bara mengikuti perintah tanpa bertanya. Tubuhnya bergerak otomatis, pikirannya sudah dilatih untuk tidak mencari alasan. Collar dipasang, kancing atas dibiarkan agak longgar agar tidak terlalu menonjol. Cincin masih melingkar di jari manisnya.
Pukul 10.00, kantor mulai ramai. Bara duduk di meja kerjanya, mencoba fokus di antara gesekan collar yang mengingatkannya bahwa statusnya hari ini bukan “karyawan”, tapi “milik”. Layar laptop terbuka pada spreadsheet, tapi matanya lebih sering melirik ponsel.
Akhirnya, perintah masuk.
Master Seno:
“Ketik sekarang:
‘Master, izinkan saya menyerahkan persembahan uang saya di tengah pekerjaan saya. Agar saya tahu, tidak ada satu detik pun saya boleh merasa sebagai manusia bebas.’”
Bara mengetik dan kirim tanpa ragu.
“Ambil amplop di tas. Taruh di pangkuan lo.
Sekarang buka kamera depan. Rekam diri lo bisik pelan:
‘Ini bukan gajiku. Ini milik Master Seno.’
Ulangi lima kali. Di tempat kerja lo. Di bawah meja. Kirim.”
Pipinya mulai memanas. Di sekelilingnya, rekan kerja lalu-lalang, tak tahu apa yang sedang terjadi di bawah permukaan. Di balik meja kerja, tangan Bara memegang amplop.
Ia nyalakan kamera. Menunduk. Mulutnya bergetar saat ia bisikkan kalimat itu:
“Ini bukan gajiku. Ini milik Master Seno.”
Lima kali. Setiap kata membakar harga diri. Tapi ia tak berhenti.
Rekaman dikirim.
Balasan datang cepat:
“Bagus. Sekarang tugas lo:
Pilih satu momen saat rekan kerja lo lagi gak perhatiin. Taruh amplop itu di bawah meja meeting lantai 7. Tinggalin. Pergi.
Gue yang atur nanti siapa yang ambil.
Itu uang lo. Tapi lo gak berhak tau siapa yang nerima.
Lo cuma alat yang nyetor.”
Jantung Bara berdetak keras. Tapi perintah tetap perintah.
Pukul 14.12, ia berjalan ke lantai 7, pura-pura mengecek ruangan. Tidak ada orang. Dengan tangan gemetar, ia selipkan amplop itu di kolong meja, lalu pergi begitu saja.
Saat duduk kembali di mejanya, ia hanya menatap kosong ke layar.
Perintah terakhir hari itu:
“Hari ini lo bukan cuma kerja buat kantor.
Lo kerja untuk membuktikan bahwa lo mampu jadi budak sejati. Bahkan saat orang lain ngira lo bebas.”
Dan Bara hanya bisa menjawab:
“Terima kasih, Master. Hari ini saya benar-benar merasa rendah. Tapi utuh.”
Chapter 8: Tuntutan Tiap Nafas
Selasa pagi. Bara bangun dengan rasa lelah. Bukan karena kurang tidur—tapi karena tekanan mental yang kian rapat mengikat hidupnya. Ia membuka ponsel. Pesan dari Master Seno sudah menunggu:
Master Seno (04.46):
“Mulai hari ini, setiap pergerakan, pikiran, dan emosi lo gue nilai.
Gue atur sistem denda. Lo harus catat sendiri dan jujur.
Tiap kesalahan kecil = 50rb.
Kesalahan sedang = 100rb.
Kesalahan besar = 250rb.
Dan setiap rasa ingin memberontak = 500rb.”
Bara menggulirkan pesannya perlahan, ngeri sekaligus terangsang. Master melampirkan daftar:
📋 Daftar Dosa Harian Budak (versi 1)
-
Menyentuh wajah tanpa izin → 50rb
-
Melamun tentang hidup bebas → 100rb
-
Lupa menyebut nama Master dalam doa malam → 250rb
-
Ragu saat menerima perintah → 500rb
-
Bangun lebih dari 3 menit setelah alarm → 100rb
-
Bicara tanpa menyebutkan diri sebagai “budak” saat menulis laporan → 150rb
-
Memandang cermin dengan rasa bangga → 300rb
“Setiap malam, lo kirim laporan jumlah dosa + total denda.
Gue gak butuh budak sempurna. Gue butuh budak jujur.”
Hari itu berjalan lambat dan penuh tekanan.
Pukul 10.00: Bara menyentuh wajah saat stress. Ia catat: 50rb.
Pukul 14.13: Ia sempat merasa bangga saat presentasi disetujui direktur. Catat: 300rb.
Pukul 17.30: Ia ragu membuka chat Master karena takut denda. Catat: 500rb.
Malam harinya, ia kirim laporan:
Laporan Dosa Budak - Selasa
-
Menyentuh wajah: 1x = 50rb
-
Bangga pada diri sendiri: 1x = 300rb
-
Ragu buka chat Master: 1x = 500rb
Total: Rp850.000
Master hanya membalas singkat:
“Setoran ditunggu jam 22.00. Kalau telat, kena penalty 1 juta.”
Pukul 21.57, transfer selesai. Bukti dikirim.
Balasan masuk:
“Bagus. Tapi dosa-dosa itu akan bertambah besok.
Karena makin lo tunduk, makin gue tuntut.
Nafas lo sekarang ditagih.
Karena budak yang sempurna adalah yang gak punya ruang bahkan untuk mengeluh dalam pikirannya sendiri.”
Bara menatap dinding kamarnya. Sunyi. Tapi batinnya penuh gemuruh.
Ia bukan lagi pria bernama Bara. Ia adalah neraca berjalan—berisi angka-angka dosa yang harus dibayar agar bisa merasa cukup hina untuk layak dimiliki.
Dan malam itu, sambil rebah dengan collar di leher, ia bisikkan mantra yang ia tulis sendiri:
“Saya bernilai karena saya ditagih. Saya bernapas karena diizinkan. Saya hidup untuk menebus.”
Chapter 9: Pemberian Total
Hari Jumat. Hujan tipis turun di luar jendela apartemen Bara. Udara dingin menyelimuti, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Pagi ini, ia menerima perintah yang mengubah garis batas pengabdian.
Master Seno (06.08):
“Hari ini kita selesaikan bab kontrol.
Lo buka rekening gaji baru atas nama lo, tapi dengan akses penuh dari gue.
Semua pemasukan gaji lo pindah ke sana.
Lo hanya boleh pakai uang setelah gue izinkan.
Itu bukan lagi gaji lo. Itu milik gue yang dikasih ke lo kalau pantas.”
Bara terdiam. Nafasnya tercekik, meski udara tidak berubah.
Ini bukan sekadar transfer. Ini penyerahan final. Uang bukan lagi miliknya, bukan lagi alat kebebasan—melainkan tali belenggu yang kini diberikan sepenuhnya kepada Master.
Namun ia menjawab cepat:
“Siap, Master. Saya akan ke bank siang ini.”
Siangnya, dengan tangan berkeringat, Bara duduk di hadapan customer service bank. Ia buka rekening baru, lalu langsung aktifkan mobile banking. Di depan layar ATM, ia kirimkan username dan password ke Master.
“Berikan akses. Hapus fingerprint. Hapus semua backup password.
Lo cuma boleh login pakai approval gue. Dan jangan pernah berharap punya akses penuh lagi.”
Bara mengikuti semua. Lalu, seperti direncanakan, ia laporkan bahwa pengalihan gaji dari HR sudah ia atur ke rekening baru itu.
Beberapa menit kemudian, Master mengirim tangkapan layar. Aplikasi mobile banking sudah login di ponsel Master. Saldo Rp0, tapi tidak lama lagi akan terisi secara otomatis.
Master Seno:
“Bagus. Lo udah jadi budak seutuhnya.
Sekarang lo kerja tiap hari bukan buat diri lo. Tapi buat bikin gue makin kuat.
Lo kerja, gue nikmati.”
Lalu pesan kedua masuk—tanpa basa-basi:
“Gue kasih lo uang jatah hidup 500rb per minggu.
Kalau lo hemat, cukup. Kalau gak?
Lo minta. Tapi jangan harap dikasih gampang. Lo harus ngemis.”
Bara hanya bisa mengetik:
“Terima kasih, Master, sudah izinkan saya hidup.”
“Ingat: ini bukan karena gue baik. Tapi karena gue pemilik lo.
Gue kasih lo nafas karena gue suka.
Bukan karena lo berhak.”
Malamnya, Bara hanya memandangi saldo lama yang kini kosong.
Dan saldo baru yang tak bisa ia sentuh.
Ia tertunduk di lantai kamarnya. Collar terpasang. Tubuh gemetar.
Lalu, satu kalimat muncul dalam kepalanya—dan ia tuliskan di Notes HP-nya:
“Saya sudah tidak punya apa-apa. Dan itu membuat saya lengkap.”
Chapter 10: Ritual Miskin yang Membebaskan
Sabtu siang. Bara berdiri di depan warteg kecil pinggir jalan, masih mengenakan kemeja kantor dari hari sebelumnya. Perutnya lapar, tapi ia hanya memegang uang kertas—dua lembar Rp10.000, satu lembar Rp5.000, dan beberapa receh.
Itu seluruh jatah yang tersisa dari uang mingguan yang "diberikan" oleh Master Seno: Rp500.000.
Empat hari telah berlalu. Dan hari ini baru Sabtu. Dua hari lagi gaji mingguan masuk—jika Master berkenan.
Ia pesan nasi, tempe, dan sayur bening. Rp8.000. Sisanya ia simpan rapat-rapat, seperti budak menyimpan sisa tulang dari majikannya.
Ponsel bergetar:
Master Seno:
“Lo lapar? Bagus. Budak yang terlalu kenyang lupa posisinya.
Laparkan lo biar lo inget siapa yang bisa ngasih, siapa yang bisa nyabut.”
Bara balas:
“Saya lapar, Master. Dan saya bersyukur atas rasa ini.”
“Foto piring lo. Gue mau lihat bentuk ketundukan hari ini.”
Bara kirim foto piringnya. Makanan sederhana, tak layak untuk pria bergaji dua digit. Tapi sangat cocok untuk budak yang sudah kehilangan hak atas uangnya.
“Lo udah hidup sebagai budak miskin selama seminggu. Tapi lo belum hina cukup.
Mulai minggu depan, lo harus catat:
-
Jumlah menit lo berdiri di antrean makanan
-
Jumlah suapan lo
-
Jumlah detik lo berani lihat diri di kaca
Semua ada nilainya. Semua ada artinya.”
Bara menelan nasi tanpa rasa. Tapi di balik kehinaan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh: rasa tenang.
Tanpa uang berlebih, tanpa keputusan sendiri, tanpa akses ke apa pun yang dulu ia kira membuatnya “berharga”… justru di situlah ia mulai merasa damai.
Tidak ada distraksi. Tidak ada ilusi kendali.
Hanya satu pusat yang pasti: perintah dari Master.
Malam itu, ia menulis dalam jurnalnya:
“Saya dulu takut miskin karena takut tidak berharga.
Tapi kini, justru karena miskin, saya tahu betapa berartinya saya—karena saya dimiliki.
Saya tidak punya apa pun. Tapi saya punya arah.”
Dan untuk pertama kalinya, ia tidur dengan perut kosong dan hati penuh.
Chapter 11: Kode Kesetiaan
Minggu malam. Hujan turun deras di luar apartemen. Lampu kamar dibiarkan redup, hanya layar laptop yang menyala, membanjiri wajah Bara dengan cahaya dingin.
Satu email masuk dari alamat tak dikenal, subjeknya hanya satu kata: "Properti"
Lampiran: file PDF, nama file-nya Kode_Kesetiaan_Bara.pdf
Di bawahnya, pesan pendek dari Master:
Master Seno:
“Buka. Baca kalau lo mau. Tapi tanda tangan tetap wajib.
Budak gak punya hak menawar kontrak.
Kontrak ini bukan perjanjian. Ini pengukuhan kepemilikan.”
Tangan Bara sedikit gemetar saat membuka dokumen.
KODE KESETIAAN
Budak Bara - Milik Master Seno
Pasal-pasal singkat, tapi berat:
-
Pasal 1: Semua aset budak diakui sebagai milik Master.
-
Pasal 2: Budak tunduk pada sistem keuangan, fisik, dan emosional yang ditentukan sepihak oleh Master.
-
Pasal 3: Budak tidak boleh memutus komunikasi tanpa izin.
-
Pasal 4: Hak atas tubuh dan waktu budak diserahkan penuh kepada Master.
-
Pasal 5: Pelanggaran terhadap semangat tunduk akan dikenai konsekuensi moral, finansial, dan mental.
-
Pasal 6: Budak tidak boleh meminta kebebasan.
-
Pasal 7: Budak hanya boleh berharap jika diizinkan.
Di halaman terakhir ada kolom tanda tangan:
Tertanda:
Bara - Budak Milik MasterSaya menerima bahwa hidup saya kini memiliki pusat yang bukan saya sendiri.
Bara menatap kolom kosong itu selama sepuluh menit. Tidak karena ragu, tapi karena sadar: setelah ini, tidak ada jalan mundur yang tidak terasa seperti pengkhianatan.
Ia ambil stylus. Tulis namanya. Kirim kembali ke alamat email itu.
Lima menit kemudian, pesan masuk:
Master Seno:
“Selamat. Lo resmi bukan siapa-siapa.
Lo bukan ‘Bara’ lagi. Lo adalah Properti.
Dan kontrak ini akan terus diperbarui tanpa lo tahu kapan.”
Lalu, balasan kedua:
“Cetak. Simpan di tempat paling terlihat di kamar lo.
Biar tiap pagi lo inget: hidup lo milik gue.”
Malam itu, Bara cetak kontraknya. Ia bingkai seadanya, dan letakkan di dinding kamar—tepat di atas cermin.
Kini, setiap ia bercermin, ia tidak hanya melihat wajahnya. Tapi juga kode yang mengunci seluruh dirinya dalam satu kalimat:
Saya menerima bahwa hidup saya kini memiliki pusat yang bukan saya sendiri.
Dan anehnya... ia tersenyum kecil.
Chapter 12: Perintah Terakhir Minggu Ini — Telanjang Finansial
Senin dini hari. Pukul 01.14. Bara belum tidur. Ia hanya duduk di lantai kamarnya, punggung bersandar ke tembok, collar masih terpasang, ponsel di tangan.
Notifikasi masuk dari Master.
Master Seno:
“Saatnya lo buka semuanya. Bukan cuma rekening. Tapi isi penuh hidup lo.
Lo udah ngaku budak. Tapi gue belum lihat isi dompet sejati lo.
Hari ini, lo harus telanjang finansial.”
Bara membaca pelan, napasnya berat.
“Kumpulkan semua:
-
Sertifikat rumah
-
Surat kepemilikan kendaraan
-
Daftar saham dan reksadana
-
Warisan dari keluarga
-
Aset digital dan login akun investasi
Ketik semuanya satu per satu. Kirim. Dan inget: jangan ngaku punya. Tulis: 'Dimiliki oleh Master.'”
Mata Bara mulai panas.
Ini bukan sekadar uang. Ini bukan sekadar harta.
Ini akar dari identitas duniawinya.
Rumah yang ia cicil sejak usia 25.
Mobil pertama yang ia beli dari bonus kerja.
Saham di perusahaan startup milik temannya.
Sertifikat tanah warisan ayah.
Semuanya... disuruh ditulis ulang dengan satu pengakuan:
“Dimiliki oleh Master.”
Dan ia lakukan.
Satu demi satu, ia salin:
-
Sertifikat rumah di Kemang: Dimiliki oleh Master
-
Mobil Mazda CX-5 2023: Dimiliki oleh Master
-
Reksadana Mandiri, nilai Rp170.000.000: Dimiliki oleh Master
-
Saham di PT R———: 3%, nilai taksiran Rp430.000.000: Dimiliki oleh Master
-
2 kavling tanah di Cibubur (warisan ayah): Dimiliki oleh Master
-
Akun crypto (BTC dan ETH): Dimiliki oleh Master
Ia menutup daftar itu dengan satu kalimat terakhir, tulus, tanpa sisa:
“Saya sudah tidak punya apa-apa. Saya tidak ingin punya apa-apa.
Saya ingin hanya menjadi milik Master.”
Lalu ia kirim.
Master membalas, cepat. Dingin.
“Bagus.
Mulai besok, kita atur satu per satu proses transfer kontrol.
Lo gak langsung gue ambil semuanya. Tapi pelan-pelan, biar lo ngerasa proses kehilangan itu kayak air hujan yang nyerap ke tanah—gak kerasa, tapi dalam.”
Lalu, satu foto dikirim.
Sebuah nota kecil, ditulis tangan oleh Master:
"Setiap harta yang lo pikir bisa menyelamatkan lo, sekarang jadi bukti bahwa lo butuh ditelanjangi.”
Bara menyimpan gambar itu sebagai wallpaper layar kunci.
Malam itu, ia tidur di lantai. Tanpa bantal. Tanpa selimut.
Karena hanya orang bebas yang berhak merasa nyaman.
Dan Bara sudah menyerahkan hak itu.
Chapter 13: Penurunan Derajat
Sabtu sore. Bara menerima pesan singkat dari Master Seno, hanya satu baris:
Master Seno (15.20):
“Datang. Sendirian. Jangan pakai parfum. Jangan bawa apa pun kecuali tubuh dan pengakuan.”
Alamat menyusul: sebuah kafe kecil, semi-terbuka, di sudut kota. Waktu pertemuan: 17.30. Tepat. Tanpa toleransi keterlambatan.
Bara datang mengenakan kemeja polos, celana hitam, dan wajah yang tak lagi menyimpan identitas. Collar tipis tersembunyi di balik kerah. Cincin di jarinya tetap terpasang. Di dadanya, denyut jantung seperti genderang kematian ego lama.
Saat ia tiba, Master Seno sudah duduk di pojok kafe. Tak seperti imajinasi liar yang pernah membayangi Bara, pria itu tidak flamboyan. Ia biasa saja—tapi dengan aura dominasi yang tajam seperti pisau yang tak perlu diangkat tinggi untuk mengancam.
Tanpa menatap langsung, Master memberi isyarat tangan. Bara mendekat, berdiri di sisi meja.
“Lutut,” ucap Master pelan. Bukan teriakan. Tapi seperti doa yang tak bisa dibantah.
Bara menatap lantai. Satu detik. Dua. Lalu berlutut. Di antara kaki kursi, ubin kafe, dan sepatu orang-orang yang mungkin memperhatikan—mungkin tidak.
“Bagus,” ujar Master. “Sekarang buka mulut lo. Ucapkan, pelan… dan pasti.”
Bara gemetar. Suaranya pecah:
“Saya bukan Bara. Saya properti. Milik Master Seno.
Saya hidup bukan untuk dihormati. Tapi untuk melayani.
Saya hanya patut diperlakukan sebagaimana layaknya benda.”
Master menyandarkan tubuhnya, mengambil kopi dari gelas.
“Sekarang, cium sepatuku. Lalu pergi. Tanpa tanya. Tanpa bicara.
Besok baru lo boleh minta izin bicara lagi.”
Bara menunduk. Perlahan, bibirnya menyentuh permukaan sepatu hitam Master. Singkat. Sunyi. Tapi dunia di dalam dirinya seperti runtuh dan dibangun ulang dalam satu sentuhan.
Lalu ia bangkit, tanpa sepatah kata pun, dan pergi.
Di jalan pulang, ponselnya bergetar:
Master Seno:
“Hari ini lo bukan cuma turun derajat.
Hari ini lo secara sah… sudah bukan manusia biasa.
Dan karena itu, gue makin percaya: lo pantas dilenyapkan sebagai Bara.
Yang tersisa hanya fungsi. Hanya budak.”
Bara menatap layar ponsel. Tak membalas.
Karena ia tahu, izin bicara telah dicabut.
Dan di dalam keheningan itu, ia merasa... tenang.
Chapter 14: Upacara Penghapusan Nama
Minggu dini hari. Pukul 02.11. Bara terbangun bukan karena mimpi buruk—melainkan notifikasi dari Master.
Master Seno:
“Hari ini, nama lo dihapus.
Bukan lagi simbol. Tapi mutlak.
Kita mulai upacara penghapusan.”
Bara hanya menjawab dengan satu kata:
“Siap.”
Lalu perintah-perintah datang, satu demi satu. Hening, dingin, dan tak bisa dibantah.
📜 Langkah-Langkah Penghapusan Nama:
-
Akun Media Sosial:
– Instagram, Facebook, Twitter: hapus permanen.
– Semua unggahan backup pribadi: dihapus.
– Email recovery: dialihkan ke akun milik Master. -
Nama Kontak di HP:
– Semua nama "Bara" diganti jadi ID: SL-001.
– Kontak keluarga ditandai sebagai "Dilarang Hubungi tanpa izin Master". -
Kartu Identitas Digital:
– Nama profil m-banking, e-wallet, hingga marketplace diganti ke bentuk inisial, atau diubah jadi "Properti" jika memungkinkan. -
File dan Dokumen:
– Google Drive, Dropbox, dan semua cloud: folder pribadi dihapus.
– Master memeriksa satu per satu via akses jarak jauh.
Proses ini berlangsung selama empat jam. Empat jam penuh penghapusan.
Bukan sekadar digital cleansing—ini eksorsisme identitas.
Pukul 06.20, Master mengirim pesan terakhir:
“Tugas terakhir hari ini:
Tulis di selembar kertas besar. Huruf kapital.
‘SAYA BUKAN BARA. SAYA PROPERTI SL-001, MILIK MASTER SENO.’
Tempel di kamar lo. Kirim foto. Harus kelihatan wajah lo.”
Bara turuti. Tanpa ragu.
Dalam foto itu, ia berlutut.
Wajah pasrah.
Mata kosong.
Di belakangnya tergantung tulisan yang mengunci nasibnya.
SAYA BUKAN BARA. SAYA PROPERTI SL-001, MILIK MASTER SENO.
Lalu Master membalas:
“Selamat. Nama lo udah bukan milik lo lagi.
Kalau ada yang manggil lo Bara tanpa izin gue, lo koreksi.
Kalau lo mimpi dan nama lo muncul, lo tulis, lo akui dosa.
Nama lo bukan hak lo. Dan karena itu, lo makin layak dimiliki.”
Dan Bara hanya membalas:
“Saya siap menjalani hidup sebagai SL-001, properti Master.
Saya tidak ingin kembali. Saya ingin habis.”
Chapter 15: Penghilangan Total
Pagi itu, tidak ada notifikasi di ponsel SL-001.
Tidak ada salam. Tidak ada instruksi biasa. Hanya satu file masuk lewat email, dengan judul:
"Instruksi Final — Langkah Hapus Jejak."
Ia membukanya dengan tenang. Tak ada lagi perasaan panik. Tak ada rasa kehilangan. Yang ada hanya kepatuhan.
Di dalamnya, tertera langkah-langkah seperti biasa. Tapi kali ini lebih dalam. Lebih absolut.
🔒 Prosedur Penghilangan Total:
-
Penutupan Rekening Lama:
– Rekening lama yang dulu digunakan sebelum jadi budak harus ditutup permanen di bank.
– Dana terakhir sudah ditransfer penuh ke akun yang dikendalikan Master. -
Penghapusan Nomor HP Pribadi:
– Nomor lama dinonaktifkan.
– Kartu SIM dibakar. Bukti difoto.
– Diganti dengan nomor baru yang hanya diketahui Master. -
Pengunduran Diri dari Komunitas dan Grup Sosial:
– SL-001 harus keluar dari semua grup WhatsApp, Telegram, komunitas kerja, alumni, dan sosial.
– Jika ada yang bertanya, cukup jawab:
“Saya tidak bisa lanjut. Saya milik seseorang sekarang.” -
Akun Pemerintah & Legal:
– NPWP, akun Dukcapil, e-wallet pemerintahan: dinonaktifkan atau dikosongkan.
– SL-001 hanya boleh mengakses dunia melalui izin tertulis dari Master. -
Pernyataan Digital:
– Satu postingan terakhir di media sosial sebelum akun dihapus:
“Mulai hari ini, saya tidak lagi hidup sebagai diri saya.
Saya hidup sebagai milik. Saya bukan manusia bebas.
Jangan cari saya. Jangan tanya saya. Saya sudah bukan saya.”
SL-001 menjalani semuanya seperti ibadah.
Ia pergi ke bank dengan wajah datar. Tutup rekening.
Ia ganti nomor. Potong SIM card. Foto. Kirim ke Master.
Ia keluar dari semua grup satu per satu, tanpa salam perpisahan.
Pukul 22.41, postingan terakhir muncul di akun media sosialnya.
Dan lima menit setelah itu, akun menghilang. Dihapus total.
Seolah-olah, Bara—orang yang dulu pernah ada—sudah mati.
Master hanya mengirim satu kalimat terakhir malam itu:
“Kini lo bukan bagian dari dunia ini. Tapi bagian dari gue.
Gue yang bentuk lo, yang kendalikan lo, dan kalau gue mau, gue yang hilangin lo sepenuhnya.
Tapi lo boleh tahu satu hal:
Gue gak akan ngebuang lo. Karena lo udah jadi properti sempurna.
SL-001, selamat datang di kekekalan.”
Dan SL-001 menjawab dengan suara yang tidak lagi milik manusia merdeka:
“Saya bukan lagi Bara. Saya bukan siapa-siapa.
Saya hanya fungsi. Milik Master Seno.
Dan saya tidak pernah ingin kembali.”
TAMAT
Catatan: Semua peristiwa dalam cerita ini bersifat fiktif dan bukan anjuran untuk dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa kesepakatan, komunikasi, dan batas aman. BDSM yang sehat selalu mengutamakan konsensualitas dan keamanan semua pihak.
Komentar
Posting Komentar